Bagaimana Memagari BPK Dari Lingkaran Jual-Beli Opini WTP?

Semarang, Idola 92.6 FM – Sebagai satu-satunya lembaga audit yang menjalankan mandat konstitusi mengawasi keuangan Negara, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dinilai perlu lebih ketat mengawasi pegawainya. Penangkapan auditor utama BPK mengindikasikan kentalnya praktik koruptif di lembaga tersebut.

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Oce Madril menilai, penangkapan dua auditor utama dikhawatirkan hanya merupakan puncak gunung es dari situasi yang sebenarnya di lembaga tersebut. Tak tertutup kemungkinan praktik serupa sudah sering kali terjadi. Apalagi, pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) ini monopoli BPK, tak ada transparansi dan dan tak ada pengawasan.

Sebelumnya, Jumat (26/5) pekan lalu, penyidik KPK menangkap Rochmadi Saptogiri, Ali Sadli, Sugito, dan Jarot Budi Prabowo. Rochmadi merupakan auditor utama BPK yang juga pejabat eselon 1. Bersama auditor lainnya, Ali Sadli, ia diduga menerima uang dari Inspektur Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa) Sugito yang diberikan bawahannya, Jarot Budi Prabowo. Suap tersebut dimaksudkan agar auditor itu mengubah opini terhadap laporan keuangan Kemendesa dari wajar dengan pengecualian (WDP) menjadi WTP.

Lantas, terobosan apa yang diperlukan untuk memperketat pengawasan internal BPK agar tak terjadi praktik koruptif? Benarkah kasus jual-beli opini terjadi karena lemahnya pengawasan di tubuh BPK dan menandakan masih lemahnya integritas penyelenggara negara?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola 92.6 FM berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Azmi Syahputra (pengamat hukum Universitas Bung Karno) dan Refly Harun (praktisi hukum konstitusi). (Heri CS)

Berikut Perbincangannya: