Mencermati Plus Minus Kebijakan Kampus Merdeka

Semarang, Idola 92.6 FM – Perguruan tinggi memiliki kontribusi besar menyiapkan sumber daya manusia (SDM) atau talenta yang adaptif di era Revolusi Industri 4.0. Karena itu, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memacu perguruan tinggi untuk mengembangkan diri sesuai tuntutan zaman. Salah satu wujudnya perguruan tinggi didorong untuk berkolaborasi dengan perguruan tinggi lain serta pihak swasta.

Hal itu merupakan salah satu dari empat pokok kebijakan Kampus Merdeka yang diluncurkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim baru-baru ini. Kebijakan Kampus Merdeka ini merupakan kelanjutan terobosan baru dari konsep Merdeka Belajar yang telah diluncurkan sebelumnya.

Secara umum, kebijakan itu memberikan keleluasaan yang cukup besar kepada perguruan tinggi. Keempat program itu yakni: kemudahan membuka program studi baru, perubahan sistem akreditasi kampus, kemudahan status kampus menjadi badan hukum, dan mahasiswa bisa magang 3 semester.

Di sela-sela peluncuran program ini, Nadiem menyinggung kelemahan kurikulum sejumlah program studi perguruan tinggi di Indonesia. Nadiem menyebut banyak prodi di Indonesia yang tak lagi sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Menurut Nadiem, prodi di Indonesia terlalu banyak teori. Parahnya lagi, teori tersebut tidak didampingi dengan praktiknya. Banyak sekali kurikulum dari prodi-prodi di universitas kita, sifatnya itu sangat teoritis dan banyak yang tidak link and match dengan kebutuhan di dalam dunia nyata. Nadiem juga menganggap banyak prodi di Indonesia yang secara materi belum bisa bersaing dengan prodi tingkat dunia.

Nadhiem Makarim
Nadhiem Makarim, Mendikbud-Dikti.

Melalui, program Kampus Merdeka nantinya, harapannya dapat mempermudah perguruan tinggi membentuk prodi baru. Perguruan tinggi bisa bekerja sama dengan organisasi kelas dunia, badan nirlaba kelas dunia, BUMN atau BUMD, serta universitas tingkat dunia.

Di sisi lain, kebijakan ini menimbulkan polemik. Ada yang pro dan ada yang kontra. Pengamat pendidikan Darmaningtyas menilai, apabila konsep tersebut diterapkan, dikhawatirkan “Perguruan tinggi hanya akan melahirkan manusia-manusia pekerja, bukan manusia pemikir. Selain itu, menurutnya, Mendikbud tidak memahami karakter perguruan tinggi. Kita ketahui, perguruan tinggi memiliki karakter berbeda-beda, misalnya, politeknik, sekolah tinggi, institut, dan universitas.

Kritik lain juga disuarakan kalangan mahasiswa. Program ini akan mengubah cukup banyak hal fundamental dalam pendidikan tinggi, salah satunya kurikulum. Selain itu, kebijakan baru ini sangat kental dengan pendekatan pasar, yakni mahasiswa ditargetkan untuk memenuhi kebutuhan industri.

Lantas, mencermati kebijakan “Kampus Merdeka”, apa plus-minusnya? Sudahkah menjadi jawaban atas tantangan dan kebutuhan mutu lulusan perguruan tinggi di era Revolusi Industry 4.0? Atau Justru ini, hanya bertumpu pada orientasi pasar industri semata?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Rektor Universitas Widya Mataram Yogyakarta/ Pernah menjabat sebagai rektor Universitas Islam Indonesia Edy Suandi Hamid dan Pengamat pendidikan Darmaningtyas. (Heri CS)

Berikut diskusinya: