Topic Of The Day: Benarkah Bangsa Kita Digerogoti Mentalitas Dubuk?

Semarang, Idola 92.6 FM – Wartawan, sastrawan sekaligus budayawan Indonesia, Mochtar Lubis, pernah mengungkapkan tentang ciri-ciri manusia Indonesia yang bisa dikatakan sebagai otokritik terhadap bangsa sendiri. Pendapatnya itu ia sampaikan dalam ceramah tentang “Situasi manusia Indonesia kini, dilihat dari segi kebudayaan dan nilai manusia” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 6 April 1977 silam. Jika memang dalam Manusia Indonesia adalah suatu ungkapan realitas maka ternyata manusia Indonesia penuh dengan paradoks yang tetap saja tak terselami oleh siapa pun. Ciri ciri manusia Indonesia menurut Mochtar Lubis itu yakni hipokrit atau munafik. segan dan enggan bertanggungjawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya, pikirannya, dan sebagainya. Kemudian, jiwa feodalistik, percaya takhayul, artistik, dan watak yang lemah.

Mochtar Lubis. (photo: tokohkita.com)
Mochtar Lubis. (photo: tokohkita.com)

Namun, selain ciri-ciri di atas, Mochtar menyampaikan juga beberapa kelebihan manusia Indonesia yang bisa dijadikan sebagai modal utama bagi keselamatan bangsa antara lain: kasih bapak kepada anak-anakanya dan sebaliknya. Selain itu, manusia Indonesia pada dasarnya berhati lembut dan suka damai, mereka juga punya selera humor yang cukup baik manusia Indonesia cepat belajar, otaknya cukup encer. Sifat-sifat itu, menurut Mochtar, bisa menjadi modal manusia Indonesia untuk berkembang.

Kini, setelah 39 tahun, ciri-ciri manusia Indonesia yang dikemukakan oleh Mochtar Lubis itu seolah masih relevan dengan kondisi manusia Indonesia saat ini. Dan, kini budayawan Jakob Sumardjo seolah menambahinya. Merujuk pada harian Kompas Senin (22/8) dengan esai berjudul “Manusia Dubuk” Jakob Sumardjo seolah tengah mengingatkan bangsa ini. Sebagian kalangan bangsa terutama para pemimpin tengah didera penyakit mentalitas bangsa dubuk. Dubuk atau hyena adalah jenis anjing atau serigala yang tulang punggungnya membentuk diagonal dengan leher dan kepalanya. Jakob memaknai dubuk sebagai binatang tidak terhormat. Mereka selalu muncul dalam gerombolan. Kerja mereka hanya merampok hasil kerja binatang lain, seperti harimau dan singa.

Jakob Sumardjo. (photo: tokohindonesia.com)
Jakob Sumardjo. (photo: tokohindonesia.com)

Kepengecutan merupakan ciri utama kaum dubuk. Semakin besar gerombolannya, semakin berani. Bangsa dubuk hanya mengenal perebutan dari hasil kerja keras orang-orang lain. Mereka kaum konsumtif yang rakus. Mereka tidak mau kerja keras dan tidak mengenal arti kerja keras dan tidak mengenal arti kerja keras yang produktif. Mereka menunggu keberhasilan orang lain yang akan dijarah rayah habis-habissan secara bergerombol.

Menurut Jakob, apa yang tidak dimiliki kaum dubuk adalah kepercayaan diri personal. Kepercayaan diri baru muncul setela berada dalam gerombolan. Semakin besar gerombolan, kepercayaan diri dan keberanian muncul. Tak ada seorang koruptor yang tertangkap dengan gagah berani mengakui perbuatannya. Bahkan, koruptor yang tertangkap dengan gagah berani bersikap layaknya pahlawan. Itulah mental dubuk. Kepercayaan diri yang tinggi sebagai seorang dubuk adalah tanda kepahlawanan kaum dubuk.

Jakob mengungkapkan, gejala mental dubuk kini ada di mana-mana. Di tengah persaingan dalam dunia modern yang semakin keras ini keunggulan personal amat diperlukan. Hanya mereka yang berani bekerja keras, mandiri, biasa mengasah kecerdasan, tahan banting, dan pantang menyerah akan memenangi persaingan.

Menyoroti mentalitas manusia Indonesia pada usia 71 tahun kemerdekaannya, kami mengajak Anda untuk ikut urun rembug, berbagi pandangan dan bertukar pemikiran. Benarkah bangsa kita masih terbelenggu dengan mentalitas manusia-manusia Dubuk yang ditandai dengan sifat antara lain: merebut hasil kerja keras orang lain, pemalas, berebut jabatan basah, dan pengecut? Lantas, bagaimana bangsa sembuh dari penyakit ini? Mendiskusikan ini kami mengajak narasumber Jakob Sumardjo-Budayawan dan Saifur Rohman, dosen filsafat UNJ. (Heri CS)