Semarang, Idola 92.6 FM-Belanja pemerintah daerah semestinya menjadi motor penggerak ekonomi di tingkat lokal–mendorong perputaran uang, menciptakan lapangan kerja, dan mempercepat pembangunan infrastruktur maupun pelayanan publik.
Namun faktanya, serapan anggaran Pemda masih rendah. Data Kementerian Keuangan mencatat, hingga Agustus 2025, dana simpanan pemerintah daerah di perbankan mencapai Rp 233,11 triliun meningkat sekitar 21,05% bila dibandingkan catatan per akhir Agustus 2024 yang senilai Rp 192,57 triliun. Dana per akhir Agustus 2025 itu menjadi yang tertinggi selama 5 tahun terakhir, karena pada Agustus 2021, anggaran dana mengendap Pemda di bank senilai Rp 178,95 triliun, Agustus 2022 Rp 203,42 triliun, dan per Agustus 2023 Rp 201,31 triliun.
Dari uang ratusan triliun yang ngendon di bank ini juga dapat dibaca bahwa alih-alih membelanjakan anggaran untuk pembangunan banyak daerah justru menyimpan uangnya di bank.
Akibatnya, efek berganda (multiplier effect) dari belanja publik tidak terjadi — ekonomi lokal tidak bergerak optimal, proyek tertunda, hingga pelayanan publik melambat. Fenomena dana mengendap di bank menunjukkan paradoks pembangunan daerah: uang ada, tapi justru tak bekerja untuk kesejahteraan rakyat.
Lalu, apa sesungguhnya penyebab utama lambatnya belanja daerah? Bagaimana peran Pemerintah Pusat dalam mengatasinya? Bagaimana mengakselerasi belanja pemerintah daerah untuk meningkatkan pembangunan ekonomi di daerah?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, yakni: Wali Kota Bogor Dedie A. Rachim dan Guru Besar Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)/ mantan Dirjen Otonomi Daerah Prof Djohermansyah Djohan. (her/yes/dav)
Simak podcast diskusinya: