Jaga Keseimbangan Alam Kreo Melalui Kirab Sesaji Rewanda

Sesaji Rewanda (photo: batiksemarang.com)

IdolaFM, Semarang – Kawasan Goa Kreo dipercaya masyarakat setempat dahulunya pernah digunakan Sunan Kalijaga untuk bertapa. Selain itu, kawasan Goa Kreo dahulunya juga menjadi tempat Sunan Kalijaga mencari kayu jati untuk pembangunan Masjid Agung Demak.

Goa Kreo masuk wilayah Dukuh Talun Kacang Desa Kandri Kecamatan Gunungpati Kota Semarang. Saat ini, kawasan obyek wisata Goa Kreo juga menjadi lokasi bendungan Jatibarang yang berfungsi sebagai pengendali banjir Kota Semarang. Goa Kreo saat ini juga dihuni berbagai spesies monyet ekor panjang. Setiap tahunnya pada hari ke-3 bulan Syawal atau sepekan setelah Idul Fitri, Pemkot Semarang menyelenggarakan tradisi budaya Kirab Sesaji Rewanda. Sesuai namanya, rewanda yang artinya monyet, sesaji ini memang ditujukan untuk member makan bagi monyet-monyet yang selama ini menghuni kawasan Goa Kreo.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang Masdiana Safitri mengatakan, tradisi Kirab Sesaji Rewanda ini merupakan warisan budaya leluhur yang harus dilestarikan. “Oleh karena itu, kami meminta masyarakat Desa Kandri dan sekitarnya untuk bisa nguri-uri budaya Kirab Sesaji Rewanda,” ujar Masdiana di sela-sela Kirab Sesaji Rewanda, Kamis (23/7) lalu.

Masdiana berjanji ke depan pihaknya akan menghadirkan inovasi pada acara tahunan Kirab Sesaji Rewanda Goa Kreo. Nantinya, beberapa pihak terutama tokoh masyarakat Desa Kandri akan dimintakan pendapat tentang inovasi apa yang akan dihadirkan pada perayaan tahun berikutnya.

Dia menjelaskan, pada malam hari akan dicoba diadakan pelbagai atraksi di obyek wisata Goa Kreo. Sehingga, masyarakat tidak hanya menikmati keindahan alam Goa Kreo di pagi siang atau sore hari tetapi juga bisa di malam hari. “Selain itu, ke depan Pemkot Semarang akan menambah fasilitas penunjang di obyek wisata Goa Kreo agar masyarakat atau pengunjung semakin banyak yang dating.”

Ritual Kirab Sesaji Rewanda sendiri dalam prosesinya diawali dengan arak-arakan mengusung empat gunungan berupa nasi, ketupat dan lepet, hasil bumi, dan buah-buahhan dari Kampung Kandri ke Goa Kreo sepanjang 800 kilometer. Pada barisan terdepan berdiri empat orang memakai kostum monyet warna merah, kuning, putih dan hitam. Barisan selanjutnya adalah replika batang kayu jati yang diambil Sunan Kalijaga, dan barisan selanjutnya adalah gunungan dan para penari.

Setelah arak-arakkan, gunungan nasi dan lauk yang dibungkus daun jati, setinggi sekitar 2,5 meter, langsung habis diambil ratusan warga dan wisatawan yang memadati pelataran Goa Kreo. Nasi yang oleh warga setempat disebut sego kethek (nasi monyet) itu hanya boleh diberi lauk sayuran, tempe, dan tahu. Sementara itu, gunungan buah-buahan langsung diserbu puluhan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) begitu diletakkan di depan pintu Goa Kreo yang berada di tengah-tengah Waduk Jatibarang.

Menurut tokoh masyarakat Kandri yang juga keturunan juru kunci Goa Kreo, Mbah Kasmani, ritual Sesaji Rewanda sudah berlangsung sejak lama. Ada tiga tujuan warga Kandri melestarikan tradisi ini. Pertama, bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan keselamatan selama ini.

Kedua, ritual arak-arakan dengan mengusung replika batang kayu jati tersebut merupakan bagian dari napak tilas Sunan Kalijaga saat ke Goa Kreo yang dahulu merupakan kawasan hutan jati. Sunan Kalijaga mencari batang kayu jati pilihan untuk mendirikan Masjid Agung di Demak. Ketiga, ritual sesaji ini juga untuk memberi makan para monyet. “Ini bentuk upaya warga untuk menjaga keseimbangan alam dan hewan di kawasan Kreo.”

Asal Kata Goa Kreo

Goa Kreo Semarang (photo: lineasetdesign)
Goa Kreo Semarang (photo: lineasetdesign)

Terkait asal kata Kreo, begini sejarah kisahnya. Menurut Kasmani, napak tilas Sunan Kalijaga berawal pada abad ke-14 atau tepatnya tahun 1475 Masehi setelah Kerajaan Majapahit surut dan digantikan oleh Kerajaan Demak. Jika pada masa Majapahit agama yang banyak dianut adalah Hindu dan Buddha, di zaman Kerajaan Demak adalah Islam.

“Karena agama baru, belum ada tempat ibadah sehingga dilakukan musyawarah dan disepakati membuat masjid,” kata Kasmani.

Sunan Kalijaga kemudian berjalan ke arah barat daya untuk mencari kayu jati untuk digunakan sebagai soko guru masjid. Begitu tiba di bukit Gombel Semarang, Sunan Kalijaga menemukan pohon jati raksasa. Karena merasa pohon jati tersebut sudah cukup besar dan umurnya pun sudah layak tebang, Sunan Kalijaga memutuskan untuk menebangnya. Akan tetapi, pada saat akan ditebang, pohon jati tersebut “ngaleh” atau pindah. Sehingga daerah setempat dikenal dengan Jatingaleh.

Sunan melanjutkan perjalanan mencari pohon jati dengan berjalan ke arah barat mendapati sungai dan ada banyak warga yang berkumpul sehingga daerah tersebut disebut Karangkumpul. Di daerah berikutnya yang dilewati Sunan Kalijaga adalah sebuah kampung yang berada di tengah hutan jati dan ada orang yang tengah “mbarang” sehingga daerah tersebut disebut Jatibarang.

Sunan Kalijaga melanjutkan perjalanan, kemudian menemukan pohon jati raksasa yang dicarinya, tetapi pohon tersebut dikalang (dilingkari) banyak pohon kecil, dan daerah tersebut disebut Jatikalangan. Saat akan menebangnya, pohon jati tersebut pindah kembali.

Sunan kemudian menemukan pohon jati dan karena sudah dua kali pohon jati tersebut selalu pindah saat akan ditebang, akhirnya Sunan Kalijaga mengikat pohon jati dengan selendang dan menebangnya. Setelah pohon jati ditebang, ternyata tunggak dari pohon jati tersebut menjadi lebih besar atau “ombo” sehingga daerah tersebut disebut dengan Tunggak Jatiombo.

Pohon jati kemudian dibawa melalui aliran sungai. Akan tetapi, kemudian di tengah perjalanan pohon jati melintang di antara tebing. Sunan Kalijaga kemudian memutuskan untuk beristirahat di puncak bukit dan meminta kepada para santri dan sahabatnya untuk mempersiapkan selamatan. Sementara Sunan Kalijaga menemukan goa dan bersemedi untuk memohon petunjuk agar kayu jati dapat dibawa ke Demak.

Setelah semedi, persiapan selamatan sudah siap di antaranya ada sate kambing. Saat makan sate kambing kemudian Sunan Kalijaga membuang tusuknya, tusuk tersebut tumbuh menjadi bambu dan berbau kambing. Bambu tersebut sampai sekarang masih ada dan disebut sebagai Bambung Kricing yang terdapat di kawasan Goa Kreo.

Di tengah acara selamatan tersebut, datanglah empat kera yang berwarna merah, putih, kuning, dan hitam. Kedatangan kera tersebut bermaksud membantu Sunan Kalijaga mengambil kayu jati yang terjebit di antara tebing. Setelah berbagai usaha untuk mengambil kayu jati tersebut sia-sia, akhirnya diputuskan memotong kayu menjadi dua bagian. Satu bagian kayu tenggelam dan satu bagian lainnya berhasil diselamatkan untuk dibawa ke Demak.

Keempat kera tersebut menyampaikan keinginannya mengikuti Sunan Kalijaga hingga Kerajaan Demak. Tetapi, Sunan Kalijaga tidak mengizinkan dan meminta agar para kera “ngreho” (merawat) sungai dan goa. “Jadi, sebenarnya ‘ngreho’ tetapi kemudian banyak yang menyebutkan kreo sehingga dikenal sebagai Goa Kreo,” jelas Kasmani. (Budi Aris / Heri CS)