Menangkal Konflik Pilkada 2018 Di Era Post Truth

Semarang, Idola 92.6 FM – Pada tahun 2018 mendatang, ada 171 daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada. Tentu saja, ini jumlah yang tidak sedikit dengan tingkat kerawanan konflik cukup besar. Mulai dari politik uang, penggelembungan suara, dan bentuk kecurangan-kecurangan lain dalam Pilkada adalah masalah klasik yang seharusnya sudah teratasi oleh penyelenggara dan pengawas Pilkada.

Satu hal lagi yang dikhawatirkan menjadi bentuk kecurangan adalah ujaran kebencian dan hoax atau kabar bohong melalui media social. Hal itu karena saat ini, kita tengah memasuki era post truth. Kamus Oxford menjadikan post-truth sebagai “Word of the Year” tahun 2016.

Berdasarkan keterangan editornya, jumlah penggunaan istilah tersebut di tahun 2016 meningkat 2000 persen bila dibandingkan 2015. Sebagian besar penggunaan istilah post-truth merujuk pada dua momen politik paling berpengaruh di tahun 2016 yakni keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit) dan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat.

Kamus Oxford sendiri mendefinisikan istilah tersebut sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Kondisi ini memang memuncak dalam dua momen politik tersebut yang digerakkan oleh sentimen emosi. Dalam situasi tersebut, informasi-informasi hoax punya pengaruh yang jauh lebih besar ketimbang fakta yang sebenarnya.

Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Hukum Konstotuisi (PSHK) UII Yogyakarta, Despan Heryansyah dalam Opini di Kompas (12/12) menulis, penerapan dan pelembagaan demokrasi yang tidak disertai dengan demokratisasi substansial di tingkat bawah bisa menimbulkan masalah. Kultur masyarakat Indonesia dalam menyerap prinsip-prinsip dasar demokrasi setidaknya dihadapkan pada dua hal.

Pertama, masih kuatnya pengaruh feodalisme di masyarakat maupun di pemerintahan sehingga pola pikir yang tercipta adalah melayani penguasa/raja/atasan. Kedua, kondisi masyarakat yang religious, abangan maupun santri, menjadikan titah seorang pemuka agama adalah suatu kewajiban yang harus diikuti. Praktiknya, hampir seluruh pimpinan agama itu terlibat dalam setiap kontestasi pemilu dan pemilihan kepala daerah.

Lantas, dengan berbagai tingkat kerawanannya, bagaimana meminimalisir konflik Pilkada di Era Post Truth? Dalam menghadapi pilkada 2018, cukupkah hanya mengandalkan peran penyelenggara dan pengawas pemilu? Sudah siapkah segenap perangkat pemilu kita saat ini dalam menyongsong pilkada 2018?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola 92.6 FM berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Despan Heryansyah (Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) UII Yogyakarta dan Dr M Mukhsin Jamil (Dekan Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang). (Heri CS)

Berikut Perbincangannya: