Dolar mengamuk, Rupiah Terpuruk, Tidak Cukupkah Hanya Stop Impor?

Semarang, Idola 92.6 FM – Perayaan hari kemerdekaan telah berlalu, target perolehan medali emas Asian Games 2018 pun tercapai. Namun, tantangan yang harus dihadapi sebenarnya adalah terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dalam beberapa pekan terakhir. Pada Jumat 31 Agustus lalu nilai tukar rupiah terhadap dolar atau kurs kembali menurun, yakni dari sebelumnya sebesar Rp 14.734 per USD pada Kamis (30/8/2018) naik menjadi Rp 14.800 per USD.

Bank Indonesia (BI) dan pemerintah diminta untuk bergerak habis-habisan untuk menjaga nilai tukar rupiah yang kini sudah melemah hingga Rp14.800 per dolar AS. Strategi yang dapat dilakukan dalam jangka pendek antara lain, kembali menaikkan suku bunga acuan dan intervensi di pasar Surat Berharga Negara (SBN) serta di pasar valuta asing.

Project Consultant Asian Development Bank (ADB) Eric Sugandi mengatakan risiko nilai tukar rupiah menuju posisi Rp15 ribu per dolar AS ini masih terbuka. Posisi ini sudah dianggap terlalu jauh dari nilai fundamental mata uang. Pelaku pasar juga melihat bahwa nilai tukar yang menembus Rp15 ribu sudah melewati batas psikologisnya, sehingga bisa membuat pasar modal panic. Dengan begitu, Eric yakin BI tak akan berpangku tangan, sebab kunci penguatan nilai tukar ada di kebijakan otoritas moneter tersebut. Dia memprediksi, BI akan melanjutkan aksi beli SBN dan menjual dolar AS dalam volume besar dalam waktu dekat.

Lantas, faktor eksternal apa yang membuat rupiah masih terus riskan tertekan? Bagaimana mestinya kebijakan pemerintah untuk mengatasinya? Membatasi impor –benarkah tak cukup untuk meredamnya? Jika tidak, bagaimana mestinya? Berbagai upaya yang dilakukan BI—mampukah BI menjadi tulang punggung stabilisasi mata uang dalam waktu cepat? Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang mewawancara Peneliti Institute for Development of Economics And Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho. [Heri CS]

Berikut diskusinya: