Menakar Harga Telur yang Babak Belur, Ada Apa dengan Tata Kelola Pangan Kita?

Semarang, Idola 92.6 FM – Harga telur ayam sepekan terakhir di banyak daerah berada di atas harga acuan Rp22 ribu per kilogram. Bahkan, di tingkat eceran, harga telur ada yang mencapai Rp30 ribu per kilogram. Harga normal telur sebelumnya rata-rata di bawah Rp20 ribu per kilogram.

Hal ini tentu saja memberatkan konsumen dan dapat berkontribusi pada inflasi bulan Juli 2018. Salah satu faktor penyebab adalah berkurangnya suplai akibat penurunan produktivitas ayam petelur. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Peternakan dan Perikanan Anton J Supit mengatakan, ada dua penyebab utama merosotnya pasokan daging ayam dan telur. Persoalan mendasar adalah kurangnya suplai bibit karena pengetatan impor bibit induk ayam (grand parent) dan kegagalan pemeliharaan di tingkat peternak.

Antisipasi penurunan kematian ayam itu kian sulit dilakukan karena pemerintah melarang penggunaan antibiotic imbuhan pakan (antibiotic growth promoters/AGP). Hal itu berakibat pada tingkat kematian ayam yang sulit ditekan. Soal lain, terkait pakan ternak yang 60 persen komponennya masih diimpor, pelemahan rupiah juga sangat berpengaruh.

Lantas, harga telur ayam dalam sepekan terakhir seolah membuat masyarakat babak belur alias melonjak tinggi. Apa sesungguhnya yang membuat harga telur bisa naik tak terkontrolDilihat dari kebijakan tata kelola pangan kita, apa yang terjadi—tidakkah hal ini sudah diantisipasi? Melihat fakta di balik pemicu melonjaknya harga telur kita jadi tahu—begitu tergantungnya kita pada impor ternyata. Mulai dari bibit induk ayam, hingga pakannya. Apa yang terjadi—apakah dua barang itu tak bisa dipenuhi dari dalam negeri? Kenapa? Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang mewawancara Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Peternakan dan Perikanan Anton J Supit. [Heri CS]

Berikut diskusinya: