Menakar Kebijakan Valas BI untuk Menstabilkan Nilai Tukar Rupiah

Semarang, Idola 92.6 FM – Faktor eksternal masih menjadi faktor yang paling kuat memengaruhi arus dana asing dan nilai tukar. Selain di Indonesia, hal seperti itu juga terjadi di negara-negara yang mengalami deficit transaksi berjalan. Misalnya, India dan Vietnam.

Bank Indonesia (BI) terus membuat berbagai terobosan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Di samping intervensi di pasar maupun surat berharga Negara (SBN), otoritas moneter melakukan kontrol devisa. Salah satunya memberlakukan sanksi bagi setiap orang atau korporasi yang membawa uang kertas asing (UKA) setara atau lebih dari Rp 1 miliar. Sanksi tersebut mulai diberlakukan mulai Senin 3 September kemarin. Sanksi itu sesuai dengan Peraturan BI Nomo2 20/2/PBI/2018 tentang Perubahan atas Peraturan BI Nomor 19/7/PBI/2017 tentang Pembawaan Uang Kertas Asing ke Dalam dan ke luar daerah Pabean Indonesia.

Rupiah Sakit Parah. (Ilustrasi: Kompas)

Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Agusman Zainal menyatakan, sanksi ini dikecualikan bagi badan berizin yaitu bank dan penyelenggara kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank yang telah memperoleh izin dan persetujuan dari BI. Besarnya sanksi denda yang diberlakukan kepada perorangan atau korporasi yang tidak memiliki izin adalah 10 persen dari seluruh jumlah uang kertas asing yang dibawa. Denda paling banyak setara dengan Rp300 juta.

Lantas, apa tujuan dan latar belakang kebijakan ini? Dalam praktiknya bagaimana prosedur dan mekanisme pengawasannya? Cukup signifikankah control devisa melalui kebijakan valas ini? Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang akan mewawancara Kepala Departemen Pengelola Devisa BI Hariyadi Ramelan. [Heri CS]

Berikut perbincangannya: