Bagaimana Agar Kita Tak Digantikan Mesin atau Robot?

Semarang, Idola 92.6 FM – Beberapa waktu lalu, untuk pertama kalinya, robot tampil sebagai saksi dalam sidang parlemen di London, Inggris. Robot bernama Pepper ini dikembangkan oleh perusahaan teknologi asal Jepang, Softbank Robotics.

Pepper dipanggil ke parlemen untuk memberikan pandangan bagaimana teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) bisa membantu sektor pendidikan. Anggota parlemen menegaskan bahwa mendatangkan Pepper bukanlah sebuah gimik. “Ini bukan tentang seseorang membawa robot mainan elektronik dan melakukan demonstrasi,” kata Ketua Komite Parlemen Inggris, Robert Halfon, kala itu.

Ia pun melanjutkan bahwa Pepper dibawa untuk menunjukkan potensial robot dan AI, serta efek dari kemampuan mereka. Pepper ditanya mengenai peran dan fungsinya di dunia perguruan tinggi. Lalu, apa kata robot Pepper? “Robot akan punya peran penting ke depannya, namun kami tetap membutuhkan soft skill yang unik dari manusia untuk merasakan, membuat dan memperoleh nilai lebih dari teknologi,” kata Pepper di dalam sidang.

Itu artinya, robot tidak akan punah kecuali memahami afeksi manusia. Aspek afeksi begitu penting bagi manusia—dalam konteks peran yang tak akan bisa digantikan oleh mesin.

Namun, di sisi lain, sistem pendidikan kita justru menitikberatkan pada aspek kognitif—yang lebih bertumpu pada menghafal dan menghitung. Padahal, kini kita tengah memasuki era otomasi. Era otomasi tidak hanya menuntut penguasaan teknologi tetapi juga kemampuan sosial dan emosional. Robot telah datang dan dipastikan akan mengambil jutaan lapangan kerja.

Lalu, dalam situasi ini–bagaimana agar kita tak digantikan mesin? Ketika aspek afeksi menjadi tantangan manusia—bagaimana mestinya sistem pendidikan menjawabnya? Model pembelajaran seperti apa yang diperlukan untuk mempersiapkan pemuda menghadapi era baru ini?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Mohammad Abduhzen (Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina) dan Prof Iwan Pranoto (Guru Besar Matematika ITB). (Heri CS)

Berikut diskusinya: