Bagaimana Mengatasi Persoalan Pernikahan Anak Karena Ini akan Berpengaruh pada Kualitas SDM ke Depan?

Semarang, Idola 92.6 FM – Dalam gagasan besar konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara, pemimpin tak ubahnya seorang pamong, seperti pemimpin, pendidik atau guru. Pamong merupakan sebentuk konsep kepemimpinan mendidik yang memerdekakan anak manusia untuk bertindak menurut talenta dasar yang bersifat alamiah atau nature dan berdasarkan kekayaan pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh melalui kepengasuhan, pendidikan di lingkungannya atau nurture-nya.

Nah, dalam konteks ini, terkait pernikahan anak atau di bawah umur baik secara nature maupun nurture, memiliki dampak yang tidak baik. Secara alamiah, bibitnya tak siap dan secara pengetahuan juga tingkat emosionalnya masih labil sehingga rentan terhadap konflik dan persoalan di kemudian hari yang ujung-ujungnya mempengaruhi tumbuh-kembang anak-anak mereka. Hal itu mengapa negara mesti terus menanggulangi pernikahan anak.

Terkait kasus pernikahan dini ini, kita patut prihatin. Ibaratnya, ketika negara-negara lain di dunia terus beradaptasi, berbenah, dan terus melaju berlari dalam menyongsong Revolusi Industri 4.0, kita masih menghadapi problem domestik banyaknya kasus pernikahan dini juga pernikahan anak. Padahal, anak-anak yang mereka lahirkan sekarang atau nanti, sejatinya yang akan menjadi tulang punggung bangsa dalam memasuki Indonesia Emas 2045.

Merujuk pada data, meski menurun, angka pernikahan anak di Indonesia masih relatif tinggi. Rata-rata 375 anak perempuan di bawah 18 tahun menikah setiap hari. Pernikahan anak ini berdampak pada kualitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah. Sebab, sektor yang paling berpengaruh akibat pernikahan anak adalah pendidikan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2018, persentase perempuan 20 hingga 24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun sebesar 11,2 persen. Jumlah ini menurun 3,5 persen dalam kurun waktu sepuluh tahun. Persentase perkawinan anak tertinggi di Sulawesi Barat yakni sebesar 19,4 persen sedangkan terendah ada di DKI Jakarta sebesar 4,1 persen.

Nah, menilik begitu pentingnya persoalan ini, apakah ini akan kita abaikan begitu saja—di tengah narasi-narasi besar yang terus digelorakan pemerintah? Bagaimana mendorong agar ada upaya luar biasa untuk mengatasinya? Begitu krusialnya permasalahan ini bagi masa depan bangsa, terobosan apa yang mesti kita lakukan?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan Deputi Perlindungan Anak Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI Nahar. (Heri CS)

Berikut diskusinya: