Di Tengah Arus Kampanye Pilpres yang Dipenuhi Narasi Ketakutan dan Nir-Gagasan, Bagaimana Memperbaiki Situasi Ini?

Ilustrasi mojok.co

Semarang, Idola 92.6 FM – Atmosfer politik jelang Pilpres 2019 cenderung kurang menuju budaya politik berkeadaban dan berperadaban. Alih-alih, menawarkan gagasan besar dan pemikiran ke depan demi kebaikan bangsa ke depan/ kampanye para kandidat dan tim sukses justru didominasi narasi membangun ketakutan di masyarakat.

Dinamika Pilpres bisa dianalogikan layaknya proses perniagaan atau jual-beli barang. Dagangan bisa ditawarkan sendiri oleh penjual dalam hal ini kandidat capres-cawapres—ataupun melalui marketing atau tim sukses. Namun, sebagai upaya memikat hati dan merayu calon konstituen agar memilih mereka, cara-cara yang ditampilkan justru kontra produktif dengan spirit bisnis. Para kontestan justru terjebak pada situasi menebar ketakutan dan kebencian antar kandidat. Hal itu bisa dilihat dari berbagai diksi dan narasi yang muncul mulai dari genderuwo hingga sontoloyo.

Kubu yang satu menakut-nakuti bahwa bangsa Indonesia ke depan berpotensi bubar dan punah sementara kubu yang lain, menakut-nakuti bahwa Indonesia tak akan maju jika dipimpin seorang yang memiliki catatan HAM buruk.

Dari fenomena itu, rakyat seolah digiring ke arena pertarungan kontestasi. Either you are with us, or against us. Kalau kau tidak berdiri di pihakku, kau pasti musuhku dan harus menjadi musuhku. Ini seolah mereduksi esensi Pemilu. Pemilu bukan dimaknai sebagai sarana demokrasi untuk mewujudkan negara lebih baik ke depan namun Pemilu hanya sebagai tujuan pemerolehan kekuasaan pihak-pihak tertentu.

Ketakutan-ketakutan semacam itu memang wajar dan perlu. Tetapi tak cukup. Publik sesungguhnya mendamba dinamika politik berlangsung dengan suasana kegembiraan dan suka cita—sebab Pemilu identik dengan Pesta Demokrasi.

Publik juga mengidamkan para kandidat menawarkan gagasan yang menunjukkan empati mereka pada persoalan bangsa yang berlarat-larat seperti jalan keluar dari kemiskinan, akses permodalan, ataupun makin optimalnya layanan kesehatan. Dan, tentunya publik memiliki harapan mereka memeroleh gagasan besar dari kandidat untuk kemajuan bangsa ini ke depan yang lebih baik.

Di dunia marketing berlaku adagium, “perception is more important than reality”. Kita khawatir, dengan kampanye yang nir-ide dan gagasan ini, publik justru terjebak pada persepsi. Jika tak ada perbaikan narasi dalam menyampaikan gagasan–dalam arti proposisi yang ditawarkan hanya ketakutan publik. Maka, ini akan semakin mendorong publik untuk skeptis pada hajatan Pemilu. Sebab, tak ada lagi yang menarik dari Pemilu. Rakyat seolah hanya dijadikan komoditas pendulang elektabilitas—setelah itu mereka dilupakan untuk lima tahun ke depan.

Lantas, sebagai literasi politik dan agar menjadi diskursus public, upaya perbaikan apa yang perlu dilakukan melihat situasi semacam ini? Apa faktor yang membuat kampanye pilpres justru diwarnai narasi kebencian?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang bediskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Prof Siti Zuhro (Peneliti Senior LIPI) dan Radhar Panca Dahana (Sosiolog, Antropolog & Budayawan). (Heri CS)

Berikut wawancaranya: