Menyoroti Fenomena Tuhan dalam Gemuruh Politik Jelang Pilpres 2019

Semarang, Idola 92.6 FM – Sentimen dan isu agama mendapatkan saluran untuk tampil ke ruang publik secara leluasa ketika Indonesia yang masyarakatnya majemuk dan religious bertemu dengan sistem demokrasi yang liberal. Kelompok-kelompok radikal-ekstremis pun mendapatkan panggung legal untuk memperjuangkan agendanya.

Menurut Komaruddin Hidayat, dosen pada Fakultas Psikologi UIN Jakarta dalam opininya di Kompas (28/02/2019), hubungan agama dan negara di Indonesia memiliki keunikan tersendiri berbeda dengan masyarakat Barat yang sekuler atau negara-negara kesultanan di Timur Tengah. Di sini, kelahiran negara sangat berutang jasa pada gerakan dan perjuangan keagamaan khususnya Islam sehingga agama dan negara tak terpisahkan sekalipun bisa dibedakan.

Nah, dalam konteks saat ini—jelang Pemilu mengingat semangat beragama masyarakat Indonesia begitu tinggi—di sisi lain para politisi tengah bekerja keras mengumpulkan suara untuk memenangi kontestasi pemilu maka agama dipandang sangat instrumental jika dimanipulasi untuk konstestasi politik. Apalagi, kesadaran masyarakat sebagai warga Negara atau sense of citizenship masih rendah maka orang lebih mudah membangun afiliasi politik atas dasar kesamaan etnis dan agama.

Prof Komarudin mencontohkan, dalam praktiknya, menghadapi Pilpres 2019, Tuhan dan agama dilibatkan sedemikian jauh. Yang meramaikan dan membuat suhu politik panas tidak semata persaingan antarparpol tetapi justru antarormas dan penceramah agama dengan melemparkan isu dan slogan keagamaan. Bahkan, Tuhan pun diajak berkoalisi dalam kontestasi pemilihan calon presiden. Pernah beredar pernyataan bahwa partai Tuhan tengah bersaing melawan partai setan. Pilpres diibaratkan sebuah perang jihad yang akan menentukan nasib Islam ke depan.

Melihat realitas ini semua, kita pun bertanya-tanya–ketika seluruh partai politik menetapkan Pancasila sebagai azasnya, kenapa politik identitas berbasis agama masih tetap digunakan sebagai pembeda dalam Pemilu? Bagaimana jalan keluar dari situasi semacam ini? Dalam kecamuk elite politik, bagaimana pula memberikan kesadaran publik bahwa pemilu merupakan manifestasi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan bersama?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Prof Komaruddin Hidayat (Dosen pada Fakultas Psikologi UIN Jakarta) dan Dr Mukhsin Jamil (Dekan Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Semarang). (Heri CS)

Berikut diskusinya: