Merunut Pembelajaran Berbasis Penalaran Tinggi, Apa dan Di Mana Problemnya sehingga Dikeluhkan Para Siswa di Tingkat Ujian?

Semarang, Idola 92.6 FM – Pembelajaran berbasis penalaran tinggi atau Higher Order Thinking Skills (HOTS) diharapkan menjadi modal bagi siswa untuk menjawab tantangan abad ke-21, menjadi manusia yang kreatif dan inovatif.

Dalam menyiapkan dan menghasilkan siswa agar berdaya saing tinggi, Pemerintah pun semakin serius menerapkan sistem pembelajaran berbasis kemampuan nalar tingkat tinggi. Setelah menerapkan Kurikulum 2013 yang sangat akomodatif dengan pengembangan nalar, dua tahun terakhir soal-soal yang berbasis penalaran tinggi diujikan dalam ujian nasional meski baru 10 persen.

Sistem pembelajaran berbasis HOTS dinilai penting karena dari berbagai pengukuran menunjukkan kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah. Hasil ujian nasional (UN) SMP, SMA, dan SMK, nilainya masih rendah bahkan menurun.

Merujuk Kompas (02/05/2019), hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2015 juga menunjukkan kemampuan dasar siswa Indonesia berusia 15 tahun di bidang sains, membaca, dan matematika masih rendah. Kemampuan siswa Indonesia di bidang sains 403, membaca 397, dan matematika 386, di bawah rata-rata Negara yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), yaitu 493, 493, dan 490. Di antara negara-negara ASEAN, peringkat Indonesia di bawah Thailand dan Vietnam.

Lantas, merunut pembelajaran berbasis penalaran tinggi atau Higher Order Thinking Skills (HOTS), apa dan di mana problemnya sehingga masih dikeluhkan para siswa di tingkat ujian? Meski dari membenahi kondisi ini?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Prof Iwan Pranoto (pemerhati pendidikan, Guru Besar ITB); Totok Amin Soefijanto, Ed.D (pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina Jakarta); dan Tukiman Taruno (pengamat pendidikan dari Unika Soegijapranata Semarang). (Heri CS)

Berikut diskusinya: