Bagaimana Merespons Omnibus Law Undang-Undang Ciptaker yang terkesan terburu-buru tanpa mempertimbangkan suara publik?

DPR Kok TOLOL
Ratusan mahasiswa UNS Solo melakukan unjuk rasa menolak pengesahan UU Cipta Kerja, Selasa (6/10/2020). (Photo: Solopos)

Semarang, Idola 92.6 FM – Pengesahan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja memicu aksi penolakan dari mahasiswa, dosen, kelompok masyarakat sipil di sejumlah daerah. Sejumlah pasal krusial menjadi sorotan karena dinilai banyak hal yang akan dipertaruhkan dan kontraproduktif dengan spirit UU Ciptaker. Beberapa pasal misalnya, akan dampak pada kalangan pekerja, lingkungan, hingga pendidikan.

Kelompok pekerja menilai, aturan dalam cluster ketenagakerjaan kurang berpihak pada kalangan pekerja—meskipun sempat dilibatkan dalam pembahasan. Kaum buruh menilai, sejumlah aturan justru memangkas hak-hak buruh.

Pada cluster lingkungan, terdapat aturan yang menghapus pasal yang biasa dikenakan untuk menjerat perusak dan pembakar hutan. Selain itu, juga merevisi kewajiban pengusaha terkait analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau Amdal.

DPR GOBLOK
Papan iklan di depan Mal Lembuswana yang dicoreti massa aksi, sebagai bentuk kekecewaan terhadap disahkannya UU Cipta Kerja oleh DPR. (Photo: Nomor Satu Kaltim)

Selain itu, yang cukup mengagetkan, cluster pendidikan yang sebelumnya dijanjikan oleh DPR dan Pemerintah akan dicabut, ternyata tetap dimasukkan. Oleh sejumlah kalangan praktisi pendidikan, hal itu dikhawatirkan akan mengubah paradigma lembaga pendidikan menjadi komersil. Keberadaan pasal pendidikan ini juga dianggap menempatkan bidang tersebut sebagai komoditas yang diperdagangkan.

Akan tetapi, di atas itu semua―RUU Cipta Kerja dibuat dengan proses formil yang bermasalah, tanpa partisipasi publik, bahkan aspirasi masyarakat seakan tidak lagi diperlukan. Maka, bagaimana kita meresponnya, Ketika kini sudah resmi diundangkan? Karena sepihak diundangkan, dan tanpa melibatkan partisipasi publik, maka upaya apa yang bisa kita lakukan?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Timboel Siregar (juru bicara Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI)); Ulil Abshar Abdalla (Inisiator petisi “Maklumat Pemuka Agama Indonesia: Tolak Omnibus Law dan Buka Ruang Partisipasi Publik”); Bivitri Susanti (Pakar Hukum Tata Negara); dan Agatha Widianawati (Kepala Bagian Hukum dan Kerjasama Luar Negeri, Ditjen PHI dan Jamsos Kementerian Ketenagakerjaan). (andi odang/her)

Berikut podcast diskusinya: