Jalan Menuju Kedaulatan Pangan: Di Antara Pragmatisme dan Idealisme

Kedaulatan Pangan Ilustrasi
(Ilustrasi: ipb.ac.id)

Semarang, Idola 92.6 FM – Kedaulatan pangan tentu menjadi impian semua warga bangsa. Tapi di manakah letaknya, sehingga selama 75 tahun Indonesia merdeka, kita tak kunjung berhasil menemukannya? Bahkan, belum berhasil menemukan jalan menuju ke sana?

Padahal, ketahanan pangan merupakan salah satu isu strategis yang dicanangkan secara nasional dan merupakan kewajiban negara untuk mewujudkannya. Namun, meski beragam perangkat aturan telah diterbitkan, mimpi Indonesia untuk berdaulat di sektor pangan masih jauh dari harapan.

Dari presiden berganti presiden, dan dari satu menteri pertanian ke menteri pertanian baru namun semua perubahan itu baru terjadi di seputar kebijakan dan aturan. Tetapi sama sekali tidak menyentuh substansi. Sejumlah pakar menilai, sejumlah persoalan menghadang, mulai dari hulu hingga hilir.

Kedaulatan Pangan
(Ilustrasi: muslimahnews.com)

Namun, kita menduga, persoalan utamanya ada di kurangnya kemauan, lemahnya kehendak politik, atau political will. Kita menduga, bahwa sesungguhnya kita mampu berdaulat dalam pangan, hanya saja persoalannya, apakah kita benar-benar mau dan menginginkannya.

Sebagai salah satu saja contoh, impor pangan gandum. Kini betapa besar ketergantungan Indonesia pada impor gandum. Merujuk data tahun lalu, angka konsumsi gandum untuk pangan, sudah mencapai 8,5 juta ton atau sekitar 30 kilogram per kapita per tahun. Sedangkan konsumsi beras, menurut kajian BPS hanya sebesar 27 Kg per kapita per tahun. Artinya, konsumsi gandum kita saat ini sudah di atas beras, padahal 100 persen gandum diimpor.

Lalu, pertanyaannya, apakah kita memang tidak bisa menanam gandum? Jawabannya, ternyata bisa. Faktanya, beberapa petani di Lereng Gunung Bromo, Pasuruan Jawa Timur, telah berhasil membudidayakan gandum sejak 2007. Namun, sayangnya, sampai hari ini tak didukung politik kebijakan nasional. Naga-naganya—pilihannya lebih baik memanen di pelabuhan alias Impor.

UU Cipta Kerja Karikatur
(Ilustrasi: republika.co.id)

Terkini, salah satu hal yang dinilai kontraproduktif dengan mimpi menuju ketahanan pangan—alih-alih kedaulatan pangan adalah disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja. Pada sektor pertanian, ini berpotensi semakin memperluas impor pangan. Lantaran, impor tidak lagi menjadi alternatif untuk pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri melainkan menjadi salah satu sumber penyediaan pangan yang setara. Implikasinya, mimpi kedaulatan pangan hanya akan sebatas impian. Di sisi lain, nasib petani, peternak, dan pembudidaya dipertaruhkan.

Lantas, ketika kedaulatan pangan merupakan impian kita semua, lalu di mana masalahnya, sehingga kita tak kunjung menemukan jalan menuju ke sana? Apa saja kendala yang dihadapi? Benarkah karena tidak adanya political will? Kalau memang benar, Apakah itu berarti, kita belum mempunyai cakrawala pandang yang sama?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Dwi Andreas Santosa (Guru Besar Fakultas Pertanian IPB/ Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI)); Dedi Mulyadi (Wakil Ketua Komisi IV DPR RI); Idham Arsyad (Ketua Umum Gerbang Tani Indonesia sekaligus Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria); dan Tejo Wahyu Jatmiko (Koodinator Aliansi Untuk Desa Sejahtera (ADS)/ pengamat pertanian). (andi odang/her)

Berikut podcast diskusinya: