Menimbang Urgensi dan Relevansi Darurat Sipil dalam Penanggulangan Virus Corona

Karantina Wilayah

Semarang, Idola 92.6 FM – Presiden Jokowi mempertimbangkan menerapkan kebijakan Darurat Sipil dalam rangka mendukung kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Darurat sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Perppu tersebut mencabut Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957. Perppu ini ditandatangani oleh Presiden Sukarno pada 16 Desember 1959. Dalam Perppu tersebut dijelaskan ‘keadaan darurat sipil’ adalah keadaan bahaya yang ditetapkan oleh Presiden Panglima Tertinggi Angkatan Perang untuk seluruh atau sebagian wilayah negara.

Namun, keputusan Jokowi terkait rencana penerapan kebijakan Darurat Sipil menuai kritik karena dianggap tidak tepat diterapkan untuk mendukung PSBB dalam menekan penyebaran virus corona. Sejumlah kritik datang dari anggota Komisi III DPR RI. Sementara, Ahli hukum dari UGM Yogyakarta, Oce Madril, menyatakan tidak habis pikir atas rencana Presiden menerapkan darurat sipil sebagai langkah terakhir mengatasi penyebaran Corona. Oce heran Jokowi merujuk pada Darurat Sipil yang tertuang dalam peraturan Orde Lama.

Jokowi
Jokowi.

Padahal, Jokowi mestinya menandatangani UU Kekarantinaan Kesehatan sebagai payung hukum menanggulangi wabah penyakit. Ia mempertanyakan mengapa Perppu 1959 yang dirujuk Presiden. Padahal, ada regulasi UU Penanggulangan Bencana tahun 2007 dan UU yang dibuat oleh Presiden Jokowi, yaitu UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dalam Perpu 1959 tersebut dikenal 3 darurat, yaitu Darurat Sipil, Darurat Militer, dan Darurat Perang. Setiap jenis ‘Darurat’ memiliki tujuan, syarat-syarat, dan konteks yang berbeda.

Lantas, manakala Presiden Jokowi mempertimbangkan menerapkan kebijakan Darurat Sipil dalam rangka mendukung kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam menanggulangi virus Corona. Apa bahayanya dengan darurat sipil? Benarkah kebijakan ini lebih dipilih ketimbang karantina wilayah, karena pemerintah tidak perlu menanggung biaya logistik untuk masyarakat terdampak–bukankah, hukum tertinggi adalah Keselamatan Rakyat (Salus Populi Suprema Lex Esto)?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Oce Madril (Ahli Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM Yogyakarta) dan Enny Sri Hartati (Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)). (Heri CS)

Berikut podcast diskusinya: