Semarang, Idola 92.6 FM – Baru-baru ini publik dikejutkan dengan bom bunuh diri yang meledak di depan gerbang Gereja Katedral Makassar. Kita turut mengutuk aksi biadab tersebut.

Sejumlah pihak pun menyikapinya beragam. Ada yang mempertanyakan, apakah teroris tidak beragama? Jawabnya: Teroris Punya Agama! Bahkan banyak di antara mereka merasa bahwa tindakannya membawanya ke surga.

Meskipun sebenarnya, tak ada agama yang mengajarkan kekerasan. Sebab, bibit dari terorisme adalah ekstremisme kekerasan. Dipupuk oleh kebencian dan dirawat oleh perasaan paling benar.

Terlepas dari itu, ada hal yang membuat kita miris dan prihatin. Pengungkapan kasus bom di Makasar menunjukkan kian menguatnya indikasi bahwa jaringan teroris menyasar keluarga muda untuk direkrut menjadi pelaku teror.

Kasus ini juga menunjukkan, jaringan teror mampu memanipulasi aspek psikologis generasi muda yang tengah mencari jati diri dan juga menunjukkan adanya persoalan kohesi sosial.

Dua terduga pelaku bom bunuh diri di depan Katedral Makassar pada hari Minggu lalu diketahui merupakan pasangan yang baru menikah. Kejadian ini menambah daftar bom bunuh diri yang melibatkan keluarga.

Deradikalisasi
ilustrasi/theindonesianinstitute

Atas situasi ini, kita patut menaruh perhatian serius atas ancaman ini. Apalagi, menurut Deputi Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Mayjen TNI Hendri Paruhuman Lubis, tidak mudah untuk melakukan deradikalisasi para mantan kombatan ISIS. Dibutuhkan waktu sekitar 3 tahun untuk melakukan deradikalisasi pada seorang yang pernah bergabung dengan ISIS di Suriah yang dideportasi pada 2017 lalu.

Di sisi lain, Mantan narapidana kasus bom Bali I, Ali Imron pada sebuah stasiun televisi mengungkapkan, proses untuk merekrut seseorang menjadi bagian dari kelompok teroris tidak butuh waktu lama. Bahkan, terkadang hanya butuh waktu 2 jam saja.

Melihat begitu besarnya ancaman terorisme bagi generasi muda, maka upaya dan terobosan apa saja yang mesti dilakukan untuk melakukan deradikalisasi? Bagaimana cara keluarga dalam membentengi anak-anaknya dari lingkungan atau pengaruh radikal?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Prof. Masdar Hilmy (Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya); Helmy Faishal Zaini (Sekretaris Jenderal PBNU (Sekjen PBNU)); dan Al Chaidar (Pengamat intelejen dan terorisme). (her/andi odang)

Dengarkan podcast diskusinya: