Bagaimana Penguatan Pemberantasan Korupsi di KPK Era Baru? Masihkah ada Harapan?

Awan Gelap KPK
Ilustrasi/ISTIMEWA

Semarang, Idola 92.6 FM – Diduga menerima suap total Rp25,7 Milyar dari pengusaha benur, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo hanya dituntut 5 tahun. Lima tahun? Kita pun bertanya-tanya—kenapa hanya 5 tahun!

Padahal, pasal yang dapat dikenakan untuk penerima suap ancaman minimal 4 sampai 20 tahun atau seumur hidup. Di sisi lain, penyidik yang membongkar kasus Suap Benur ini disingkirkan menggunakan Tes Wawasan Kebangsaan. Lengkaplah sudah prestasi KPK “Era Baru” ini–begitu bunyi cuitan Febri Diansyah, mantan jubir KPK yang sudah mundur.

Kegelisahan yang diungkapkan Febri seolah mewakili kegelisahan publik yang geram dengan adanya tren pemberian discount bagi pelaku korupsi dari waktu ke waktu. Contoh terkini adalah mantan Jaksa Pinangki. Dari 10 tahun penjara mendapat potongan hukuman menjadi 4 tahun setelah bandingnya dikabulkan Pengadilan Tinggi Jakarta.

Dan, kini, muncul pula tren tuntutan pidana yang rendah pada koruptor. Pada Selasa lalu,Jaksa Penuntut Umum KPK menuntut Edhy Prabowo lima tahun penjara dan meminta majelis hakim mencabut hak politik Edhy untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok.

Maka, melihat fenomena vonis dan tuntutan pidana bagi koruptor yang semakin rendah, benarkah tren ini menjadi semacam “kenormalan baru” pada KPK “Era Baru”? Dan, bagaimana upaya penguatan KPK ke depan agar nyala api pemberantasan korupsi tak kian redup atau mati?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Azmi Syahputra (Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (ALPHA))/Dosen di Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta; Zaenur Rohman (Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta); dan Boyamin Saiman (Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI)). (her/ yes/ ao)

Dengarkan podcast diskusinya: