Menakar Wacana Amendemen UUD 1945, Seberapa Mendesakkah?

Amendemen UUD 45

Semarang, Idola 92.6 FM – Setelah sempat meredup, wacana amendemen terbatas UUD Negeri Republik Indonesia (NRI) Tahun 1945 kian santer berembus. Isu amendemen konstitusi kembali mencuat setelah kembali disinggung oleh sejumlah pejabat tinggi negara dalam Sidang Tahunan Majelis MPR Senin 16 Agustus lalu.

Mereka yang menyinggung dan berpendapat itu mulai dari Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti hingga Presiden Joko Widodo. Amendemen terbatas terhadap konstitusi diwacanakan –salah satunya untuk mewadahi Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) yang direkomendasikan MPR periode 2014-2019.

UUD 45
images/istimewa

Dalam pidatonya, Ketua MPR Bambang Soesatyo menyatakan bahwa UUD 1945 memerlukan perubahan terbatas untuk menambah kewenangan MPR menetapkan PPHN. Kemudian, Ketua DPD La Nyalla pun ikut menyinggungnya saat giliran berpidato. Ia menyatakan, DPD mendukung penetapan PPHN dalam konstitusi Indonesia lewat amendemen UUD 1945. Dan, hal serupa dikemukakan Presiden Jokowi saat menyampaikan pidato kenegaraannya. Presiden mengapresiasi rencana MPR yang hendak mengkaji subtansi PPHN dalam amendemen UUD 1945 sebagai langkah pembangunan Indonesia secara berkelanjutan.

Menanggapi rencana itu, beragam tanggapan pun mengemuka… ada yang beranggapan, bahwa konstitusi bukanlah kitab suci, sehingga perlu diubah dan disesuaikan.

Tetapi, tidak sedikit yang menyoroti “timing” dilakukannya amendemen, yaitu pada saat jumlah partai oposisi yang tidak berimbang dengan jumlah koalisi pendukung pemerintah. Sehingga, dikawatirkan memunculkan bola liar.

Lalu, menakar wacana amendemen UUD 1945, seberapa mendesak amendemen dilakukan? Benarkah, bakal melebar ke masalah periode masa jabatan presiden?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, kami nanti akan berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Feri Amsari, M.H (Ahli hukum tata negara Universitas Andalas Padang); Dr. M. Hidayat Nur Wahid (Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI); dan Fadli Ramadhanil (Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)). (her/ yes/ ao)

Dengarkan podcast diskusinya: