Amendemen Konstitusi, di Antara Manfaat dan Risikonya

Ilustrasi
ilustrasi/ISTIMEWA

Semarang, Idola 92.6 FM – Setelah sekian lama senyap, wacana amendemen terbatas UUD 1945 kembali berembus. Kita ingat, terakhir kali isu amendemen konstitusi ini mengemuka adalah saat Sidang Tahunan MPR 16 Agustus tahun lalu. Sejumlah pejabat tinggi kala itu, mulai dari Ketua MPR hingga DPD secara tersurat menyampaikan mendukung wacana tersebut.

Dalam beberapa kesempatan, Ketua MPR Bambang Soesatyo juga menyatakan, mengejar target untuk dapat merampungkan amendemen UUD 1945 sebelum akhir masa jabatan pada 2024. Pihaknya akan memastikan bahwa amendemen hanya akan dilakukan untuk memasukkan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN).

Sejarah mencatat, sepanjang republik Indonesia berdiri, amendemen konstitusi sudah dilaksanakan sebanyak empat kali. Namun, pro dan kontra mengiringi wacana amendemen konstitusi yang kelima.

Terkini, Fraksi PDI Perjuangan mengusulkan penundaan rencana amendemen konstitusi. Selain dapat menimbulkan kegaduhan baru, amendemen terbatas UUD 1945 di tengah isu penundaan pemilihan umum dan perpanjangan masa jabatan presiden-wakil presiden juga rawan dibajak oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

Diketahui, wacana amendemen kelima konstitusi mulai mencuat pasca Pemilu 2014. Pembahasan secara serius mulai dilakukan oleh MPR periode 2014-2019. Perombakan konstitusi bertujuan untuk menumbuhkan pasal kewenangan MPR agar dapat menetapkan PPHN. Selain itu, juga untuk memperkuat wewenang DPD.

Lantas, dari perspektif cost and benefits, seberapa menguntungkan rencana amendemen konstitusi? Apa jaminannya, bahwa amendemen ini nanti hanya fokus untuk mengakomodasi MPR dan tidak sampai melebar ke mana mana?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, di antaranya: Dr Herlambang P. Wiratraman (Dosen Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof R. Siti Zuhro (Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indonesia), dan Pangi Syarwi Chaniago (Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting). (her/yes/ao)

Dengarkan podcast diskusinya: