Menimbang Antara Cost and Benefit, Apakah Menaikkan Harga BBM adalah Opsi Terbaik?

Menolak BBM Naik Harga
Poster dan foto diri Megawati, Ketua Umum PDI-Perjuangan mewarnai aksi penolakan kenaikan harga BBM di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Selasa (27/3/2012). (Jejak Digital 2012 © Tempo)

Semarang, Idola 92.6 FM – Pemerintah akhirnya mengambil kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi. Kebijakan ini diambil di tengah harga minyak dunia yang memang masih tinggi tetapi sudah dalam tren penurunan setidaknya sejak pertengahan Juni lalu.

Harga minyak mentah WTI, misalnya, sempat betah berada di atas US$ 100 per barel sejak pecahnya perang Rusia dan Ukraina pada Maret lalu. Kini, harganya sudah berada di kisaran US$ 88 per barel.

Alhasil, sejumlah negara telah menurunkan harga BBM-nya mengikuti turunnya harga minyak dunia tersebut. Di Hong Kong, yang memiliki harga BBM paling mahal di dunia, penurunan telah terjadi sejak Juli. Hal yang sama juga terjadi di Norwegia yang harga BBM-nya menjadi salah satu yang tertinggi di dunia. Pada Mei, harga bensin oktan 95 sempat mencapai kisaran Rp 41.000 per liter dan terus menurun hingga kisaran Rp 33.000 per liter per 29 Agustus 2022.

Jangan sogok rakyat dengan BLT
Kader PDIP demo kenaikan BBM beberapa tahun lalu. (Jejak Digital 2013 © Merdeka.com)

Tren harga BBM yang sama juga terjadi di Singapura. Tetangga RI yang tidak memberikan subsidi pada BBM-nya itu sempat mematok harga bensin dengan oktan 98 di kisaran Rp 41.000 per liter. Kini, harganya telah turun ke kisaran Rp 35.000 per liter.

Maka, kenapa pada saat harga minyak dunia mengalami penurunan, pemerintah justru menaikkan harga BBM? Kalau karena subsidi yang tidak tepat sasaran, kenapa pilihannya justru menaikan harga BBM yang sudah pasti akan mengatrol kenaikan harga-harga, serta memicu inflasi dan menambah kemiskinan?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, di antaranya: Komaidi Notonegoro (Pengamat Energi/Direktur Eksekutif ReforMiner Institute), Akhmad Akbar Susamto, Ph.D (Ekonom Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), dan Diah Nurwitasari (Anggota komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: