Bagaimana Merespons Anomali Iklim yang Kian Ekstrem agar Ada “Greget” dan Menjadi Urgensi Bersama?

Termometer Panas
Ilustrasi/Istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Anomali iklim yang diperkirakan makin esktrem di Indonesia dan respons manusia atasnya mengingatkan kita pada sindrom katak rebus (boling frog syndrome).

Istilah ini merujuk pada analogi tentang katak yang dimasukkan ke dalam rebusan air. Ketika katak dimasukkan langsung ke dalam air yang sudah mendidih, dengan refleks mereka akan langsung lompat untuk menyelamatkan dirinya.

Namun, ketika katak-katak itu dimasukkan ke dalam air dengan temperatur ruangan dan merebusnya hingga air mendidih, maka mereka akan berusaha untuk menyesuaikan suhu tubuhnya—tanpa menyadari bahwa mereka sebenarnya sedang dalam bahaya hingga akhirnya mati.

Kini, kita juga dihadapkan pada fenomena itu, anomali iklim yang makin ekstrem di Indonesia, diperkirakan akan makin membebani warga miskin pada tahun 2045. Beban itu mulai dari pengeluaran mereka untuk kebutuhan bahan pangan, mengakses air bersih, hingga mendapatkan listrik yang semakin bertambah.

Lantas, apakah ancaman yang disebut “Pendidihan Global” ini masih belum menggerakkan kita sehingga kita masih merasa nyaman, belum ada “greget” untuk bergerak, dan belum melihatnya sebagai urgensi bersama? Apa upaya bersama yang mestinya kita lakukan untuk mencegah atau paling sedikit memperlambat menuju “titik didih?” Siapa yang mestinya menjadi Leading Sector dalam mengedukasi masyarakat khususnya mengenai isu emisi karbon?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber Prof Zaenuri Mastur (Pengamat Lingkungan dari Universitas Negeri Semarang) dan Prof Achmad Subagio (Pakar Pertanian dari Universitas Jember dan Pemerhati Ketahanan Pangan Nasional). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: