Bagaimana Peran Kampus dalam Pendidikan Politik Menuju Pemilu 2024?

Politik
Ilustrasi/Istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Perguruan tinggi memiliki posisi yang sangat strategis bagi sebuah bangsa. Karena perguruan tinggi akan memunculkan serta melahirkan orang-orang dengan kapasitas yang baik untuk membangun sebuah bangsa. Pada konteks demokrasi, khususnya berkaitan dengan pemilihan umum, perguruan tinggi dinilai masih belum berperan lebih, dalam pendidikan politik. Alih-alih, Sebagian pihak kampus justru menjadi partisan.

Untuk itu, kita tentunya mengapresiasi pernyataan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang mempersilakan kampus mengundang parpol untuk melakukan pendidikan politik.

Bawaslu menyatakan, partai politik peserta pemilu atau calon peserta pemilu diperkenankan melakukan pendidikan politik di kampus. Namun, hal ini hanya dimungkinkan jika pihak kampus yang mengundang, dan tidak hanya satu parpol atau satu calon peserta pemilu saja yang diundang.

Agar janji kampanye para kontestan pemilu tidak hanya menjadi pemanis bibir semata atau sekedar political marketing, maka gagasan Perguruan Tinggi mengundang parpol parpol kontestan pemilu menjadi menarik.

Karena hanya dengan begitu, maka setiap janji partai bisa diuji secara akademis sehingga demokrasi perwakilan di Indonesia tidak lagi mengalami masalah disconnected electoral, yaitu adanya keterputusan relasi antara wakil dengan yang diwakili.

Tapi, bagaimana respons kampus? Apa saja hambatan (handicap) yang mesti diatasi untuk mewujudkan gagasan baik ini?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan sejumlah narasumber, antara lain: Wasisto Raharjo Jati (Peneliti di Pusat Riset Politik – Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP – BRIN)), Prof. Budi Setiyono (Wakil Rektor Universitas Diponegoro Semarang/ Guru Besar Ilmu Pemerintahan), dan Willy Aditya (Ketua DPP Partai NasDem/Anggota DPR RI). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: