Bagaimana Menangkal Dampak Negatif Mentalitas Kerumunan

Semarang, Idola 92.6 FM – Jelang perhelatan Asian Games 2018, terjadi insiden yang memprihatinkan. Salah satu venue Asian Games, Stadion Gelora Sriwijaya mengalami kerusakan yang diduga dilakukan oleh oknum suporter klub. Sejumlah oknum tersebut melakukan tindakan kurang terpuji dengan mencopot bangku stadion dan melemparnya ke dalam lapangan setelah laga Liga 1 Indonesia antara Sriwijaya FC dikalahkan Arema FC, Sabtu 21 Juli lalu.

Insiden ini tentu mengganggu persiapan stadion yang akan menggelar cabang olahraga sepak bola wanita di Asian Games 2018. Total kursi yang rusak berjumlah 335 kursi. Sekertaris Kemenpora (Sesmenpora) Gatot S Dewa Broto juga menyayangkan aksi tersebut. Dia mengaku sudah melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Apa yang dilakukan oleh pendukung Sriwijaya FC sejatinya menunjukkan betapa berbahayanya mentalitas kerumuman. Ia seolah berani melakukan apa saja termasuk aksi vandalisme atas nama kerumunan. Dalam kasus ini, hanya karena alasan psikologis kekalahan tim yang didukungnya kalah. Di sisi lain, aparat ternyata tak mampu mengantisipasi kemarahan kerumunan. Maka, jadilah. Kerusakan.

Lantas, apa yang terjadi dengan masyarakat kita dari perspektif sosiologi dan budaya—kenapa mudah marah dan amuk hanya gara-gara tim yang didukungnya kalah? Bagaimana meredam dampak buruk mentalitas kerumunan? Bukankah ini preseden buruk karena kita sebentar lagi akan menjadi tuan rumah pesta olahraga se Asia. Bagaimana nanti jika setiap kalah, supporter kita melakukan vandalisme—Lalu, strategi apa yang mesti pemerintah bangun untuk meredam gejala amuk masyarakat kita-agar kita sukses sebagai penyelenggara Asian Games? Belajar dari Rusia dalam menggelar Piala Dunia pelajaran apa yang bisa kita tiru dan praktikkan? Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang mewawancara Dr. Saifur Rohman (Ahli filsafat dan Budayawan dari Universitas Negeri Jakarta). [Heri CS]

Berikut diskusinya: