Kaum Millenial, Masihkah Menjadi Obyek atau akan Turut Menentukan Perpolitikan di Masa Mendatang?

Semarang, Idola 92.6 FM – Tahapan Pemilu dan Pilpres dalam hitungan hari ke depan akan memasuki masa kampanye. Namun, kini, setiap bakal caleg maupun dua pasangan peserta pilpres seolah-olah sudah mulai adu cepat dalam meraih simpati publik—khususnya kaum milenial. Kita ketahui, kaum milenial—menurut survei Saiful Mujani Riset and Consultan akan menentukan siapa yang unggul dalam kontestasi Pilpres. Ia yang paling banyak dipilih kalangan milenial berpeluang besar menjadi presiden pada 2019.

Dan, kini kita menyaksikan, kaum milenial sedang menjadi target politik lewat gimmick-gimmick budaya populer dewasa ini. Demikian amatan Direktur Youth Study Center Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Yogyakarta, Najib Azca. Menurutnya, kaum milenial menjadi objek politik. Suaranya, sangat diperebutkan.

Kaum milenial biasa dimaknai sebagai golongan orang-orang kelahiran 1980-an hingga awal 2000-an, alias kaum muda yang tumbuh di alaf ketiga ini. Dia menyarankan agar kaum muda selalu membuka mata sehingga tak diombang-ambingkan oleh dinamika politik semata. Soalnya, kaum muda sebelumnya sering diasosiasikan sebagai kaum yang apolitis. Ia tak tertarik dengan isu-isu perebutan kekuasaan, dan cenderung lebih tergerak oleh sosok-sosok idola dunia hiburan popular.

Menurut Najib, saat ini, anak muda mestinya tidak hanya menjadi objek kebijakan politik, tapi harus jadi subjek. Ini kesempatan pemuda untuk menjadi subjek pada 2019. Kalau mereka tak peduli politik, apatis, maka mereka justru menjadi bagian dari kebijakan yang akhirnya meminggirkan aspirasi anak-anak muda.

Diketahui, baru-baru ini, K-Pop menjadi salah satu budaya pop yang disasar oleh kedua kandidat sebagai upaya meraih simpatik. Super Junior (Suju)– boyband Korea Selatan yang digandrungi kawula muda Tanah Air menjadi pusat pembicaraan Jokowi dan Sandiaga Uno. Tak sampai di situ, dari segi tampilan keduanya juga mematut-matutkan dengan style anak muda—seperti memakai motor custom hingga sneakers.

Lantas, di tengah dinamika riuh ramai perebutan suara kandidat Pilpres, sudahkah para kandidat mempertontonkan adu gagasan dan program —atau justru lebih mengedepankan jargon-jargon dan sensasi yang nir-ide? Bagaimana mestinya kampanye kreatif untuk menyasar kaum milenial? Masihkah milenial menjadi obyek—atau justru mampu turut menentukan perpolitikan di masa mendatang?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Dr. Muhammad Najib Azca (Direktur Youth Studies Centre (YouSure) Fisipol UGM Yogyakarta dan Hendri Satrio (Pendiri Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai Kopi)). [Heri CS]

Berikut diskusinya: