Menakar Kebijakan THR bagi ASN yang Dinilai Membebani APBD Sejumlah Daerah?

Semarang, Idola 92.6 FM – Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2018 tentang pembayaran tunjangan hari raya untuk pegawai negeri sipil menimbulkan masalah di daerah. Sebab, tak semua daerah siap. Pemerintah daerah pada umumnya kaget dengan ketentuan dalam PP Nomor 19 tahun 2018 karena dana APBD yang harus disiapkan lebih besar daripada perkiraan.

PP No 19 tahun 2018 mengatur tentang pemberian THR untuk PNS, prajurit, anggota Polri, pejabat Negara, penerima pensiun dan penerima tunjangan. PP dibuat untuk meningkatkan kesejahteraan penerima dan sebagai wujud apresiasi pemerintah atas pengabdian mereka kepada bangsa dan Negara. THR diberikan sebesar penghasilan bulan Mei yang meliputi gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan jabatan atau tunjangan umum dan tunjangan kinerja. Sementara, pemberian gaji ke-13 diatur dalam PP Nomor 18 tahun 2018 dan dibayarkan pada Juli 2018.

Sejumlah pemda semula hanya menganggarkan THR sebesar gaji pokok, tanpa berbagai tunjangan dan tanpa pemberian gaji ke-13. Saat presiden Joko Widodo mengumumkan pemberian THR dan gaji ke-13 Mei lalu, beberapa Pemda bereaksi. Pemda terkejut dan keberatan. Sebab, hal itu membebani APBD. Beberapa kepala daerah yang terang-terangan menyuarakan keberatannya adalah Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan Bupati Rembang Abdul Hafidz. Menurut bu Risma, pembayaran THR PNS daerah menggunakan APBD cukup membebani. Sebab, jumlah THR yang harus dibayar tidaklah kecil.

Keterkejutan dan keberatan Pemda menunjukkan komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah terkait dana—tidak beres. Komunikasi ini harus dibenahi sehingga tidak membebani daerah, juga tidak akan dibaca untuk kepentingan politik 2019.

Lantas, menyoroti kebijakan THR bagi ASN yang dinilai membebani APBD, keberatan sejumlah pemda, benarkah ini menunjukkan komunikasi yang buruk di antara Pemerintah Pusat dan Daerah? Bagaimana mestinya agar kebijakan ini tak sampai membebani keuangan daerah?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Robert Endi Jaweng (direktur eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Andreas Lako (pengamat ekonomi Unika Soegijapranata), dan dr Hasto Wardoyo (bupati Kulon Progo DI Yogyakarta). [Heri CS]

Berikut diskusinya: