Menjaga Warisan Toleransi

Semarang, Idola 92.6 FM – Bibit toleransi sejatinya telah ada sejak masa lampau. Jiwa toleransi sudah menjadi sifat dasar penduduk Nusantara. Namun, belakangan ini, kita justru melihat kasus intoleransi di sejumlah daerah begitu marak. Ditambah lagi dengan kian masifnya media sosial di sendi kehidupan.

Hal itu membuat isu SARA semakin mendapat ruang. Apalagi kita memasuki era post-truth—dimana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Maka, dampaknya begitu nyata kita rasakan—para durjana pemecah kesatuan bangsa masih dengan leluasa memainkan isu SARA meski pemerintah juga sudah melakukan segala cara untuk menangkalnya.

Ini sesungguhnya ironi, sebab, bangsa kita sejatinya telah mewariskan spirit toleransi sejak lama. Faktanya, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menemukan bukti-bukti yang menegaskan bahwa toleransi sudah tumbuh subur sejak dulu di wilayah Nusantara. Para leluhur Nusantara ternyata sudah merajut toleransi sejak dahulu kala.

Hal itu misalnya, terlacak di Jawa Tengah. Dari abad ke-8 hingga ke-10 Masehi, di antara Gunung Sumbing-Sindoro dan Merbabu-Merapi, berkembang peradaban tinggi Dinasti Syailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Kuno. Meski mayoritas penduduk kerajaan ini beragama Budha, agama Hindu dibiarkan berkembang. Bukti nyatanya, keberadaan candi-candi Hindu seperti Candi Prambanan yang dibangun berdampingan dengan Candi Sewu yang bersifat buddhis.

Lantas, ke mana hilangnya toleransi dan bagaimana mengembalikan spirit toleransi yang sebenarnya sudah kita warisi sejak lama? Upaya apa yang mesti dilakukan untuk terus membumikan spirit toleransi untuk membentengi anak bangsa dari isu SARA? Sudah kuatkah perangkat hukum kita menghadapi ancaman intoleransi?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Ulil Abshar Abdalla (Founder of Liberal Islam Network, Jakarta), dan Augustinus Setyo Wibowo (Ketua Program Studi S1 Ilmu Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta). [Heri CS]

Berikut Diskusinya: