Bagaimana Mewujudkan Toleransi agar Melekat Menjadi Kimiawi atau DNA bagi Bangsa, bukan Semata Kosmetik?

Semarang, Idola 92.6 FM – Peristiwa hijrah dan terbentuknya Piagam Madinah atau dikenal juga dengan Konstitusi Madinah menjadi momen penting sejarah Islam yang mempunyai pengaruh signifikan bagi dunia. Nabi Muhammad kala itu membuat komunitas politik keagamaan yang didalamnya tersusun keberagaman—terdapat kaum muslim, komunitas Yahudi, Nasrani bahkan Majusi. Piagam Madinah yang lahir pada 622 Hijriyah itu mengubah tatanan Islam yang penuh kedamaian serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Melalui Piagam Madinah, Muhammad sukses mempersatukan seluruh suku dan agama di Madinah yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, pluralisme, egalitarianisme, humanisme, dan civil society. Demokrasi diejawantahkan dalam formasi sosial-politik yang berada dalam naungan Islam. Suatu pengalaman sejarah Islam yang selalu relevan dan aktual untuk direfleksikan dalam kehidupan umat Islam dimanapun dan sampai kapanpun.

Selang beberapa abad setelahnya, di era kontemporer, upaya itu diperbarui melalui penandatanganan “Deklarasi Abu Dhabi” yang dilakukan oleh Al Azhar dan Vatikan di Abu Dhabi pada 4 Februari 2019 lalu. Secara simbolik ini menandai era baru hubungan umat Islam-Kristen sedunia. Kedua komunitas tersebut diharapkan ke depan dapat hidup berdampingan dalam damai dan saling bekerjasama melawan tantangan kemanusiaan.

Slamet.

Namun, toleransi antarumat beragama di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir seolah tak kuasa menghadapi tantangan dan batu ujian nyata. Terkini, kita terusik dengan insiden penolakan warga nonmuslim Slamet Juniarto di Dusun Karet Desa Pleret, Bantul, Yogyakarta. Slamet ditolak warga karena berdasarkan peraturan desa (perdes) warga nonmuslim dilarang tinggal di desa setempat.

Berbagai kalangan termasuk tokoh lintas agama bereaksi atas insiden itu. Sebab, hal itu bertentangan dengan ajaran agama manapun di muka bumi–apalagi bangsa ini juga mendeklarasikan diri untuk hidup berdampingan dengan rukun di tengah kemajemukan, keanekaragaman seperti yang tertuang dalam UUD 1945 dan Pancasila. Perkembangan terkini, perdes tersebut direvisi dan Slamet diperbolehkan tinggal di Bantul.

Lantas, dalam konteks situasi saat ini, bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai persaudaraan tanpa mengenal sekat agama dan keyakinan seperti yang tertuang dalam “Piagam Madinah” dan “Deklarasi Abu Dhabi”? Bagaimana pula agar toleransi menjadi kimiawi atau DNA bagi bangsa—bukan semata kosmetik? Apa pula tantangan mewujudkannya?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Prof Gumilar Rusliwa Somantri (Sosiolog Universitas Indonesia); Prof Abd A’la (Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya); dan Halili (Direktur Riset Setara Institute/ Dosen Fakultas Ilmu Sosial UNY). (Heri CS)

Berikut diskusinya: