Menakar Plus-Minus Kerjasama Partai Berkuasa dengan Oposisi, Akankah Rakyat Lebih Diuntungkan?

Semarang, Idola 92.6 FM – Berjalannya roda pemerintahan sebuah negara yang menjunjung tinggi demokrasi membutuhkan aspek keberimbangan. Komposisi antara oposisi dan koalisi pendukung pemerintah mesti seimbang untuk menjaga demokrasi tetap berjalan. Sebab, ketika oposisi menjalankan fungsi sebagai pengawas atau kontrol terhadap kekuasaan maka diharapkan tidak terjadi seperti adagiumnya Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” atau kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut pasti korup.

Terkait relasi antara koalisi dan oposisi ini—menarik melihat dan mencermati peristiwa politik di Menteng, Jakarta. Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri berjumpa untuk kali pertama dengan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, pasca Pilpres 2019. Kita ketahui, PDI Perjuangan merupakan partai utama koalisi pendukung pemerintah atau Partai Berkuasa dan Gerindra merupakan partai oposisi dalam beberapa tahun terakhir.

Sejumlah pihak pun mempertanyakan, ada agenda apa di balik politik “nasi goreng” antara Megawati dan Prabowo? Adakah agenda untuk kepentingan bangsa yang dibahas–atau pertemuan dua tokoh itu hanya power sharing untuk kepentingan mereka sendiri–bukan bicara rakyat, bangsa dan negara?

Lantas, menyoroti hal ini–apa jadinya kalau antara koalisi dan oposisi justru bekerjasama? Akankah rakyat lebih diuntungkan? Atau justru sebaliknya?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Kepala Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Aditya Perdana dan Peneliti Pada Pusat Studi Konstitusi (Pusako)/ Dosen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Andalas Padang Charles Simabura. (Heri CS)

Berikut diskusinya: