Menyoroti Tren Pemotongan Hukuman oleh Mahkamah Agung terhadap terhadap Terpidana Korupsi

Idrus Marham
Idrus Marham (memakai rompi orange), bekas Sekjen Partai Golkar, terpidana kasus suap proyek PLTU Riau-1.

Semarang, Idola 92.6 FM – Rangkaian pemotongan hukuman terhadap terpidana kasus korupsi dalam beberapa waktu terakhir gencar dilakukan oleh lembaga Mahkamah Agung. Sebagian kalangan menilai, ini mengindikasikan adanya kecenderungan pergeseran pendekatan hukum terhadap koruptor. Padahal, hukuman ringan terhadap pelaku korupsi berpotensi menimbulkan inkonstistensi antara aturan tertulis dan praktik pemberian hukuman.

Diketahui, awal pekan lalu, MA mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan mantan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham dalam kasus suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1. Vonis Idrus menjadi 2 tahun penjara, denda Rp50 juta subsider 3 bulan kurungan.

Sebelumnya, pada putusan Pengadilan Tipikor, Idrus divonis 3 tahun penjara, denda Rp150 juta subsider dua bulan kurungan. Pada tingkat banding di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta/ hukumannya diperberat menjadi 5 tahun penjara. Kasus ini tentu saja bukan yang pertama terjadi, sebelumnya juga ada daftar panjangnya. Mulai dari kasus M Sanusi (dari 10 tahun menjadi 7 tahun), Irman Gusman 4,5 tahun menjadi 3 tahun), Patrialis Akbar (8 tahun menjadi 7 tahun), Choel Mallarangeng (3,5 menjadi 3 tahun), Tarmizi (4 menjadi 3 tahun), Tamin Sukardi (8 menjadi 5 tahun), OC Kaligis (10 menjadi 7 tahun), Angelina Sondakh (12 menjadi 10 tahun), dan Cahyadi Kumala (5 menjadi 2,5 tahun).

Lantas, Menyoroti fenomena MA yang terkesan “mengobral” potongan hukuman terhadap terpidana korupsi—ini menunjukkan fenomena apa? Benarkah pendekatan hukum dalam mendudukkan perkara korupsi mulai bergeser? Lantas, dalam situasi demikian—masihkah ada harapan pada lembaga penegak hukum kita dalam upaya perang melawan korupsi?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni Prof Hibnu Nugroho (pengamat Hukum dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto) dan Adnan Topan Husodo (koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW). (Heri CS)

Berikut wawancaranya: