Penundaan RKUHP & Spirit Dekolonialisasi Kodifikasi Hukum, Apakah Sudah Relevan?

Semarang, Idola 92.6 FM – Upaya memperbarui Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) warisan kolonial yang sudah 103 tahun berjalan telah dilakukan sejak puluhan tahun lalu. Kali ini upaya itu juga belum berhasil. Aksi penolakan terhadap Rancangan KUHP berjalan masif. Sejumlah pihak menilai, beberapa pasal disinyalir justru membatasi ruang gerak publik dan kebebasan berekspresi sehingga tetap terasa nuansa kolonialnya. Misalnya, tentang adanya pasal penghinaan pada presiden, makar, hingga penghinaan pada pengadilan.

Kita mengapresiasi langkah Presiden Joko Widodo. Permintaan Presiden menunda pembahasan RKUHP menjadi momentum untuk membuka ruang publik pada pembahasan materi-materi yang termaktub di dalamnya. Sehingga, diharapkan terjadi proses pertukaran informasi dan pandangan berkenaan dengan pokok persoalan yang tengah menjadi perbincangan umun—hingga kemudian terciptalah pendapat umum.

Lantas, penundaan RKUHP dan Spirit Dekolonialisasi kodifikasi hukum—apakah sudah relevan? Apa saja pasal-pasal krusial yang perlu dicermati kembali? Lalu, seberapa penting peran dan pandangan civil society dalam semangat demokrasi?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Prof Hibnu Nugroho (Pengamat Hukum dari Universitas Jendral Soedirman (Unsoed) Purwokerto) dan Asfinawati (Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)). (Heri CS)

Berikut diskusinya: