Mendorong Pemerintah dan DPR untuk Membuka RKUHP Agar Bisa Diikuti Rakyat

RUU KUHP
ilustrasi/pantau

Semarang, Idola 92.6 FM – Setelah tujuh puluh tahun lebih memproklamirkan sebagai negara Merdeka hingga saat ini Indonesia masih memakai acuan hukum pidana warisan kolonial Belanda yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) “Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie”.

Maka, disusunnya Rancangan KUHP untuk menggantikan KUHP lama sebagai produk hukum peninggalan pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, tentunya merupakan langkah maju yang patut didukung.

Namun, setelah sekian lama, dalam proses penyusunan draftnya, justru dinilai kurang partisipatif dan terkesan mengabaikan kritik publik. RKUHP ini pada tahun 2019 lalu sebenarnya sudah disetujui di tingkat pertama dan siap disahkan di rapat paripurna namun akhirnya ditunda, karena masifnya penolakan dari masyarakat. Selama kurun waktu dua tahun berjalan (2020-2021), pemerintah telah melakukan sosialisasi RKUHP dan melakukan perbaikan pada sejumlah isu krusial yang sempat menuai protes dari masyarakat.

Akan tetapi, sampai saat ini, draf terbaru tersebut justru tidak bisa diakses publik. Sehingga, publik tak bisa memantau langsung perkembangan terbaru isi RKUHP tersebut.

Padahal, di dalam draft terbaru tersebut, terdapat sekurangnya 14 poin krusial yang dinilai kontroversial. Di antaranya: pasal penghinaan presiden, pasal hukuman mati, aborsi, perzinaan, hingga pidana terhadap laki-laki dan perempuan yang tinggal serumah tanpa ikatan pernikahan.

RUU KUHP
ilustrasi/istimewa

Kalangan pegiat hukum menilai, kecenderungan pemerintah mengabaikan kritik publik, menunjukkan pola yang berulang mengenai proses legislasi yang “ugal-ugalan” seperti terjadi dalam pengesahan sejumlah UU kontroversial seperti: UU KPK, Omnibus Law UU Cipta Kerja, UU Ibu Kota Negara, serta revisi UU PPP.

Atas situasi ini, beberapa waktu lalu, Aliansi Nasional Reformasi RKUHP mengirim surat terbuka kepada Presiden RI Joko Widodo. Dalam surat tersebut, mereka mendesak agar draf terbaru RKUHP bisa diakses publik sebelum disahkan dalam rapat paripurna pemerintah bersama DPR RI. Selain kepada Jokowi, aliansi juga sudah menyurati hal yang sama kepada DPR.

Lantas, kenapa RKUHP tak dapat diakses oleh masyarakat? Apa alasan substantif di baliknya? Lalu, kalau perkembangannya tetap tak dapat diikuti masyarakat, lalu apa bedanya dengan pemerintahan kolonial, di mana hukum hanya berlaku untuk kaum bumiputera? Bagaimana cara mendorong Pemerintah dan DPR untuk membuka RKUHP agar bisa diikuti Rakyat?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, di antaranya: Dr Herlambang P. Wiratraman (Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), Citra Referandum (Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta)), dan Johan Budi SP (Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: