Mendorong DPR untuk Mendengar dan Menyerap Aspirasi Masyarakat dalam Polemik RKUHP

Ilustrasi
ilustrasi/istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Masyarakat sipil, pegiat hukum, akademisi, hingga pemimpin redaksi sejumlah media massa mempersoalkan beberapa pasal dalam RKUHP yang mengatur tentang penghinaan pemerintah, kekuasaan umum, dan lembaga negara. Pasal-pasal itu selain berpotensi multitafsir juga mengancam kebebasan berpendapat.

Beberapa pasal yang dimaksud, antara lain pasal terkait penghinaan terhadap pemerintah, dan penghinaan martabat pengadilan atau contempt of court.

Salah satu pihak yang lantang meminta agar DPR tak segera mengesahkan RKUHP adalah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Dilansir Kompas Jumat (24/06), Ketua YLBHI Muhammad Isnur mengatakan, tak cukup jika pemerintah hanya membahas 14 masalah krusial dalam RKUHP pada pembahasan ulang rancangan undang-undang. Hal itu disinggung Isnur karena sebelumnya Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menyampaikan, bahwa RKUHP akan dibawa ke rapat paripurna DPR untuk dibahas kembali terutama terkait pending issue atau masalah yang ditunda pembahasannya.

Sebab, menurut Isnur, ada sejumlah pasal bermasalah lainnya di RKUHP yang mengatur tentang penghinaan terhadap kepala negara, kekuasaan umum, dan lembaga negara. Pasal-pasal itu dinilai dapat mengancam kebebasan berpendapat sehingga merugikan demokrasi.

Lalu, mengingat bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, maka, bagaimana mendorong DPR untuk mendengar dan menyerap aspirasi masyarakat dalam polemik RKUHP yang dinilai mengancam kebebasan berpendapat?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, di antaranya: Fajri Nursyamsi (Pengamat Hukum Tata Negara/Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK), Muhammad Isnur (Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)), dan Adang Daradjatun (Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: