Seberapa Signifikan “Debat Paslon Presiden” dalam Mempengaruhi Elektabilitas Kedua Kandidat?

ilustrasi: kompas

Semarang, Idola 92.6 FM – Kedua pasangan calon presiden-wakil presiden Kamis (17/01/2019) malam telah mengikuti salah satu tahapan penting Pilpres 2019 yakni debat kandidat. Pasangan kandidat 01: Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan pasangan 02: Prabowo Subianto-Sandiaga Uno telah mengemukakan visi misi program terkait tema penegakan hukum, korupsi, hak asasi manusia (HAM), dan terorisme.

Terlepas dari materi yang disampaikan, sejumlah pihak menilai, penampilan para kandidat saat debat bisa memengaruhi elektabilitas mereka terutama karena masih ada pemilih mengambang atau yang belum menentukan pilihan.

Merujuk pada hasil jajak pendapat Litbang Kompas baru-baru ini menunjukkan, ada 14,7 persen responden yang merahasiakan atau belum menentukan pilihan. Selain itu, ada 30 persen pemilih pada kedua pasangan calon itu yang masih bisa berubah pikiran. Ini berarti sejatinya, kini kedua kandidat seolah hanya memperebutkan 30 persen pemilih mengambang atau swing voters dan undecided voters yang sebagian besar merupakan pemilih pemula.

Wapres Jusuf Kalla yang pernah mengikuti debat presidensial saat Pemilu 2004, Pemilu 2009, dan Pemilu 2014 mengingatkan, debat presidensial itu dapat menurunkan atau menaikkan elektabilitas kandidat. Pengaruhnya bisa 5 sampai 6 persen jika berhasil meyakinkan visi misi dan program terhadap calon pemilih dan tanpa kesalahan ucap. Sebaliknya, jika gagal, apalagi salah ucap justru akan hilang dukungan suaranya sebesar 5 hingga 6 persen.

Setelah tadi malam kita menyaksikan penampilan kedua paslon dalam “Debat Paslon Presiden 2019”, lantas, seberapa signifikan sebenarnya pengaruh debat dalam mempengaruhi elektabilitas kedua kandidat? Apakah jalannya debat, cukup mengangkat narasi-narasi yang menunjukkan arah masa depan bangsa dan menyentuh isu-isu yang substansial?

Terkait ini, Radio Idola Semarang mendiskusikannya dengan beberapa narasumber, yakni: Wawan Hari Purwanto (Pengamat Terorisme dan Intelijen); Haris Azhar (Aktivis HAM, Lokataru Foundation, mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)); dan Oce Madril (Direktur advokasi Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Yogyakarta). (Heri CS)

Berikut diskusinya: