Gerak Cepat Melawan Corona, Mampukah Kita Melakukannya?

Petugas Medis

Semarang, Idola 92.6 FM – Kesadaran masyarakat menjalankan social distancing atau pembatasan sosial serta menghindari aktivitas pengumpulan massa sangat dibutuhkan untuk membatasi penyebaran virus corona baru penyebab Covid-19 di Indonesia yang kini menjadi Pandemi. Sejumlah pihak mendorong pemerintah harus memastikan pembatasan sosial itu benar-benar dijalankan lewat pengawasan dan sanksi.

Tercatat, hingga Minggu kemarin jumlah pasien positif Covid 19 di Indonesia mencapai 514 kasus, dan sebanyak 48 orang telah meninggal dunia. Sementara yang sembuh mencapai 29 orang.

Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia Defriman Djafri mengatakan, imbauan pembatasan sosial kurang memadai jika pelaksanaan di daerah tidak diikuti pengawalan atau pengawasan ketat. Idealnya, pemerintah bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk memastikan pelaksanaan pembatasan sosial tersebutSenada dengan itu, Menkopolhukam Mahfud MD pun meminta aparat menindak tegas warga yang masih keluyuran.

Social Distancing
Social Distancing.

Social distancing atau jaga jarak sosial dimaksudkan agar masyarakat secara sukarela menjaga jarak sosial agar penularan bisa dikendalikan. Tetapi ketika swa karantina belum diindahkan, perlukah upaya lebih “menekan”?

Jika kita berkaca pada kondisi buruk di Itali—yang angka kematiannya kini sudah menyalip China, salah satu penyebabnya ditengarai karena warganya susah diatur dan disiplin terkait sosial distancing. Lantas, apakah kita ingin mengalami nasib yang sama—mengingat masih banyaknya publik yang belum disiplin terkait social distancing?

Itali kini seperti kota mati. Sebanyak 800 orang di Italia meninggal dalam sehari, Sabtu akhir pekan lalu virus corona. Angka ini menambah total warga meninggal menjadi lebihdari 4.800 orang akibat corona. Dengan demikian, jumlah meninggal akibat virus corona di Italia mencapai sepertiga dari total penderita Covid-19 yang meninggal di seluruh dunia melampaui China.

Belajar dari ketidakdisiplinan warganya, otoritas Itali—meski terlambat, mulai lebih memperketat lockdown sejak 11 Maret 2020. Tidak boleh ada lagi aktivitas bisnis yang buka selain supermarket dan apotek. Hampir seluruh aktivitas kerja ditiadakan. Keluar rumah diwajibkan membawa surat resmi yang menuliskan identitas dan alasan keluar rumah. Banyak mobil polisi yang berpatroli. Tanpa alasan yang jelas, seseorang akan didenda lebih dari 200 EURO atau penjara 3 hingga 12 bulan.

Lantas, dalam situasi saat ini, ketika imbauan tidak lagi dihiraukan dan swa karantina belum diindahkan, perlukah upaya yang lebih menekan bagi warga? Jika kita berkaca pada kondisi buruk di Itali—yang angka kematiannya kini sudah menyalip China, salah satu penyebabnya ditengarai karena warganya susah diatur dan disiplin terkait sosial distancing, lalu, apakah kita ingin mengalami nasib yang sama, mengingat masih banyaknya publik yang belum disiplin terkait social distancing? Di sisi lain, Itali sangat seram dan tentunya kita tidak ingin bernasib sama, tetapi di lain pihak bagaimana dengan pekerja sektor informal dalam memperoleh penghasilan? Bagaimana jalan keluarnya?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, radio Idola Semarang mewawancara Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia dan Dekan FKM Universitas Andalas Padang Defriman Djafri dan Mantan Hakim Agung Agung Topane Gayus Lumbun. (Heri CS)

Berikut diskusinya: