Mendorong Konsistensi Pemerintah dalam Penegakan Aturan Protokol Kesehatan

Wajib Pakai Masker

Semarang, Idola 92.6 FM – Dalam kehidupan bernegara, kita mengenal prinsip liberty—yaitu kebebasan yang dibatasi oleh tanggung jawab. Setiap orang, misalnya, wajib menghormati hak asasi manusia milik orang lain, dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Sesuai dengan konstitusi, pada Pasal 28 J Ayat (1) UUD 1945, pelaksanaan hak seseorang tidak boleh mengabaikan atau mengorbankan hak orang lain. Apalagi sampai membuat hak asasi orang lain tidak bisa dilaksanakan. Sehingga negara harus menjamin terjadinya saling menghormati antarwarga-negara dalam menjalankan hak asasinya itu.

Ada kebebasan di negeri ini termasuk kebebasan untuk berpendapat, berserikat, atau berkumpul. Meski demikian tak ada kebebasan yang sebebas-bebasnya. Sebab, ada kebebasan dan hak orang lain yang harus dihormati.

Oleh karena itulah, ketika minggu lalu terjadi kerumunan besar-besaran yang melibatkan jutaan orang tanpa protokol kesehatan sejumlah kalangan mempertanyakan reaksi pemerintah. Pemerintah seakan kurang tegas dalam mencegah terjadinya kerumunan besar yang di masa pandemi ini sangat potensial menjadi cluster baru penularan virus. Sehingga, mengabaikan hak dan kebebasan warga negara lain. Bahkan, muncul kesan pemerintah memberi angin dan membiarkan pelanggaran hukum serta membiarkan kegaduhan terjadi di masyarakat.

Joko Widodo
Presiden Joko Widodo memberikan keterangan pers saat meninjau Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, beberapa waktu lalu. (Photo: ANTARA)

Padahal, sejak pandemi Covid-19 Maret lalu, pemerintah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang dalam pelaksanaannya, mengharuskan warga menaati protokol kesehatan. Sebagian kalangan juga menilai pemerintah inkonsisten, karena sebelumnya pemerintah sempat menjatuhkan sanksi pada Wakil Ketua DPRD Kota Tegal, Wasmad Edi Susilo yang mengundang kerumunan massa dengan menggelar konser music.

Seperti sedang menjawab kegelisahan dan kritik publik, pemerintah melalui Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis mencopot dua Kapolda, yakni Kapolda Metro Jaya Nana Sudjana dan Kapolda Jawa Barat Irjen Rudy Sufahriadi. Selain itu, Kapolri juga memutasi 21 perwira tinggi dan menengah Polri.

Lantas, benarkah pemerintah tidak konsisten dalam menegakkan protokol kesehatan? Kemudian, apakah mutasi para perwira tinggi POLRI merupakan tanda ketegasan pemerintah? Cukupkah dengan mencopot Kapolda sebagai bukti penegakan protokol kesehatan Covid-19? Apa yang mestinya dilakukan agar hal yang sama—tidak akan terjadi?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Luky Sandra Amalia (Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia (LIPI)); Hendri Satrio (Pakar Komunikasi Politik Universitas Paramadina); dan Dr Arie Sujito (Sosiolog/ Kepala Departemen Sosiologi FISIPOL UGM Yogyakarta). (andi odang/her)

Dengarkan podcast diskusinya: