Untuk Siapa Omnibus Law Dibuat?

UU Omnibus Law

Semarang, Idola 92.6 FM – Dalam Sembilan Elemen Jurnalisme, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menyebutkan, “Jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan; Jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga.”

Beberapa media, kemarin, telah membuktikan hal itu. Dan, Radio Idola Semarang juga ingin, memantau sekaligus menyediakan forum publik untuk menyampaikan kritik maupun dukungan warga.

Dengan semangat itulah, hari ini kita akan mendalami substansi Omnibus Law Undang-Undang Ciptaker, Yang diharapkan dapat menarik Investasi.

Sebagaimana narasi yang sering terdengar, Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja disusun dan disahkan guna menarik Investasi. Karena iklim yang belum ramah bagi investor asing, dinilai menjadi biang jebloknya investasi dan pendapatan negara. Namun, narasi ini ditepis oleh sebagian ekonom yang menyebutkan bahwa ada permasalahan lain yang lebih substansial dari sekadar investasi maupun aspek ketenagakerjaan.

Ekonom INDEF Faisal Basri menilai, tidak ada masalah mendasar pada realisasi investasi di Indonesia. Investasi Indonesia baik-baik saja, walaupun tidak spektakuler. Faisal bahkah mengatakan capaian investasi Indonesia lebih tinggi dari negara lain, seperti: China, Malaysia, Thailand, Brazil, Afrika Selatan.

DPR Kok TOLOL
Ratusan mahasiswa UNS Solo melakukan unjuk rasa menolak pengesahan UU Cipta Kerja, Selasa (6/10/2020). (Photo: Solopos)

Investasi asing yang masuk ke Indonesia, katanya, hampir sama dengan India. Namun, investasi RI masih di bawah Vietnam. Jika melihat peranan investasi terhadap produk domestik bruto (PDB), tegas Faisal, angka investasi Indonesia justru tercatat paling tinggi di era Presiden Joko Widodo atau sekitar 34 persen dari PDB. Indonesia juga masuk top 20 penerima investasi.

Masalah yang sesungguhnya, menurut Faisal, dari jumlah besar investasi yang masuk, tetapi hasilnya sedikit. Ia pun menganalogikan, seseorang yang sudah memakan makanan bergizi dalam jumlah banyak tapi berat badannya tak bisa naik, karena banyak cacing di perutnya. Cacing yang dia maksud adalah korupsi. Korupsi inilah yang membuat investor luar negeri dan dalam negeri sakit kepala dan birokrasi pemerintah tidak efisien.

Tapi, benarkah jumlah investasi yang masuk ke Indonesia sebetulnya sudah begitu besar? Lalu, untuk mencapai tujuan apa Omnisbus law ini dibuat, yang berujung ricuh? Kemudian, dengan adanya Sistem Online Single Submission dalam Proses Perizinan, akankah memperpendek rantai perizinan dan menutup celah munculnya korupsi?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Enny Sri Hartati (Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)); Wijayanto Samirin (Pengamat Ekonomi/ mantan staf ahli bidang ekonomi wapres Jusuf Kalla); Prof Sudharto P. Hadi (Guru Besar Manajemen Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang); dan Eko Cahyono (Direktur Sajogyo Institute Periode 2015- 2018, Asisten Pengajar di Divisi Kajian Agraria dan Kependudukan (KAREP) Fakultas Ekologi Manusia IPB). (andi odang/her)

Berikut podcast diskusinya: