Bagaimana Nyengkuyung dan Berkolaborasi untuk Mencegah Datangnya Banjir di Kota Semarang?

Banjir di Kota Semarang
Banjir di Kota Semarang. (Photo: Jatengdaily)

Semarang, Idola 92.6 FM- “Semarang kaline banjir, Jo sumelang ra dipikir…”. Lagu Semarang kaline banjir yang dipopulerkan Waldjinah itu mendadak viral seiring musibah banjir yang melanda Kota Semarang mulai Sabtu hingga kemarin.

Hujan deras yang mengguyur sejak hari Jumat malam telah menyebabkan banjir menggenangi beberapa kawasan di Semarang bahkan hingga kini. Menurut BPBD Kota Semarang, tercatat ada 29 titik banjir yang tersebar di 10 kecamatan di Kota Semarang. Selain itu, hujan juga memicu 27 titik longsor.

Bahkan, banjir di Kota Semarang sempat menduduki Top Trending secara nasional karena sempat menutup akses vital transportasi nasional yakni: Bandara Ahmad Yani dan Stasiun Tawang Semarang. Di sisi lain, kita juga turut berempati –karena banjir dan tanah longsor juga mengakibatkan 4 korban jiwa.

Peristiwa banjir ini, mestinya tidak hanya cukup kita sikapi, keluhkan atau dijadikan bahan saling menyalahkan. Karena, apapun kondisinya, alam selalu memberi jawaban—apa di balik ini semua.

Secara ekologis, “Alam tidak pernah ingkar janji.” Bahwa ketika daerah resapan air semakin hilang, ketika pohon dan tanaman yang berfungsi menahan air habis ditebang, maka janganlah kemudian, curah hujan yang disalahkan.

Sejumlah pihak juga melihat—selain faktor cuaca ekstrem, apa yang terjadi dengan bencana hari ini—adalah buah yang kita panen dari apa yang kita tanam di masa lalu. Khususnya di bidang lingkungan.

Dalam etika lingkungan, ada tiga paradigma yang kita pahami. Pertama, antroposentrisme, yakni: teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Kedua, ekosentrisme, yakni berkaitan dengan etika lingkungan yang lebih luas. Berbeda dengan biosentrisme yang hanya memusatkan pada kehidupan mahluk hidup, ekosentrisme memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak. Ketiga, biosentrisme. Inilah etika yang mengagungkan nilai kehidupan pada semua ciptaan, sehingga komunitas moral tidak lagi dapat dibatasi hanya pada ruang lingkup manusia. Mencakup alam sebagai ciptaan sebagai satu kesatuan komunitas hidup (biotic community).

Lantas, belajar dari bencana banjir di Kota Semarang, pelajaran apa yang bisa kita petik? Bagaimana menyemaikan kesadaran ekologis agar kita lebih bijak pada aspek lingkungan?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Hendrar Prihadi (Wali Kota Semarang); Prof Suripin (Ahli Hidrologi/Dosen Fakultas Teknik Sipil Universitas Diponegoro Semarang); dan Prof Budi Widianarko (Pengajar Program Doktor Ilmu Lingkungan, Unika Soegijapranata Semarang). (her/andi odang)

Dengarkan podcast diskusinya: