Mewaspadai Fenomena “Microspreader” Covid-19, Bagaimana Cara Membendungnya?

Super Spreader (Ilustrasi)

Semarang, Idola 92.6 FM – Pada awalnya Pandemi Covid-19 dipicu oleh satu peristiwa alam, yakni kemunculan virus corona. Entah bagaimana, melalui kontak antar species, virus corona ini meloncat dari sel hewan ke sel manusia. Selanjutnya, virus corona dengan mudah menunggangi relasi sosial yang ada di masyarakat, untuk melakukan proses reproduksi secara masif dari satu individu ke individu lain.

Lalu, berkat globalisasi, virus corona yang asal muasalnya dari Wuhan China, dengan kecepatan tinggi menyebar ke seluruh dunia—termasuk Indonesia dan meluluhlantakkan ekonomi global hingga kini.

Dalam laju penyebarannya, Covid-19 memunculkan istilah superspreader, yakni individu yang terpapar virus corona, kemudian mampu menulari orang lain dalam jumlah besar. Superspreader ini memiliki peran sosial yang sangat krusial dalam menaikkan kurva jumlah kasus.

Namun, di Indonesia—khususnya di Pulau Jawa—setelah memasuki 10 bulan sejak Covid-19 masuk, kini memasuki babak baru di mana fenomena “superspreader” secara perlahan dan pasti, sudah diganti oleh munculnya “microspreader”. Dalam perspektif sosiologis, “microspreader” adalah orang-orang biasa. Mereka menulari orang lain dalam jumlah yang relatif lebih sedikit—mungkin dua atau tiga orang saja. Namun masalahnya, jumlah “microspreader” ini sangat banyak dan ada di mana-mana, seperti di lingkungan keluarga hingga perkantoran.

Sulfikar Amir—Pakar Sosiologi Bencana di Nanyang Technological University mengungkapkan, fenomena “microspreader” ini sangat sulit dilacak apalagi dihentikan, karena dia masuk ke dalam ikatan sosial yang sangat dalam/ yakni hubungan kekerabatan antarindividu dalam masyarakat.

Di sisi lain, dalam dimensi ini, penyebaran virus berkelindan dengan satu bentuk budaya yang membentuk perilaku masyarakat Indonesia sehari-hari, yakni budaya sungkan. Dan, kita ketahui bersama kesungkanan dapat berimplikasi pada kerentanan. Budaya sungkan ini menjadikan ruang-ruang privat sebagai “contact zone” yang memiliki risiko tinggi terhadap penularan Covid-19.

Lantas, memahami dan mewaspadai ancaman nyata fenomena “microspreader” Covid-19, lalu bagaimana strategi yang efektif untuk membendungnya? Akankah, Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) ini, efektif dalam memutus rantai penularan? Lalu, terobosan apa saja harus dilakukan untuk memastikan disiplin 3 M semakin dipatuhi? Kemudian, bagaimana dengan upaya surveillance dari pemerintah, khususnya tes, lacak dan isolasi, pakah sudah cukup masif? Lalu, bagaimana mendorong masyarakat agar tidak terperangkap dalam “budaya sungkan?”

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Prof Budi Haryanto (Epidemiolog Lingkungan/Direktur Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia); Dr Hermawan Saputra (Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI)); dan Prof. Sunyoto Usman (Guru Besar Sosiologi UGM Yogyakarta). (andi odang/her)

Dengarkan podcast diskusinya: