Penyelenggaraan Pemilu, Antara Serentak dan Dipisah: Apa Plus Minusnya?

Vote Pemilu
ilustrasi/langgam.id

Semarang, Idola 92.6 FM – Pemilu tahun 2024 tinggal menunggu beberapa tahun lagi. Jelang penentuan jadwal agenda Pemilu, sejumlah pihak menggugat uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai format keserentakan pemilu legislatif dan presiden atau kerap disebut Pemilu lima kotak seperti yang diterapkan pada Pemilu 2019 lalu.

Mereka menilai pelaksanaan Pemilu serentak tersebut membebani penyelenggara Pemilu. Dan, imbasnya pun dinilai serius pada demokratisnya penyelenggaraan Pemilu.

Rabu, 24 November hari ini, MK dijadwalkan membacakan putusan terkait uji materi keserentakan Pemilu. Uji materi diajukan oleh empat panitia penyelenggara Pemilu dari Yogyakarta dan Jawa Barat. Mereka meminta MK membatalkan ketentuan Pemilu lima kotak (pemilu presiden, pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabuaten/ Kota).

Mereka meminta MK mengubah format keserentakan pemilu, dengan memisah Pemilu Nasional dan Pemilu lokal. Hal itu karena pelaksanaannya memberatkan petugas penyelenggara pemilihan di lapangan.

Kita ketahui, saat Pemilu lima kotak diterapkan pada Pemilu 2019 lalu, sebanyak lebih dari 800-an anggota Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dan 5 ribu lebih anggota KPPS jatuh sakit akibat kelelahan.

Maka, ketika penyelenggaraan Pemilu secara serentak diuji materi di MK; pihak siapakah yang diberatkan kalau diselenggarakan secara bersamaan? Apa plus-minusnya kalau Pemilu digelar serentak dan sebaliknya, kalau digelar terpisah?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Charles Simabura, M.H. (Peneliti Pada Pusat Studi Konstitusi ( PUSaKO)/ Dosen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang) dan Khoirunnisa Nur Agustyati (Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: