Semua Kebudayaan Menjadi Tuan Rumah di Kota Semarang

Tedi Kholiludin, Cahyono (moderator) dan Tubagus P Svarajati.

Semarang, Idola 92.6 FM-Kota Semarang memiliki kekhasan dalam pengelolaan kemajemukan budaya. Di sana, tidak ada satu budaya yang dominan dan menjadikan yang lainnya sebagai inferior. Semuanya ada dalam panggung yang sama, tidak saling menegasi, dan pada saat yang sama, menjaga agar tidak saling menyakiti.

Demikian dikemukakan Peneliti di Yayasan Lembaga Studi Sosial dan Agama (Elsa) Tedi Kholiludin dalam peluncuran buku karyanya, Pecinan di Pecinan: Santri, Tionghoa dan Tuan Rumah Kebudayaan Bersama di Kota Semarang, Jumat (15/11/2019) malam. Acara yang dihelat di Kantor Elsa, Ngaliyan, Semarang tersebut dihadiri oleh puluhan mahasiswa, aktivis, akademisi, komunitas literasi dan pemerhati budaya di Semarang.

Dalam buku yang diterbitkan oleh Elsa itu, Tedi mengambil kebudayaan santri dan Tionghoa sebagai objek penelitiannya. Keduanya dilihat dari aspek kognitif dan simboliknya. “Komposisi kebudayaan yang terbentuk akhirnya menunjukkan sesuatu yang khas, yakni terciptanya tuan rumah kebudayaan bersama atau shared host culture,” ujar dosen Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang itu.

Ia menuturkan, kebudayaan santri, Tionghoa, Jawa dan juga lainnya ada dalam satu panggung bersama yang tidak terlampau intens dalam berdialog, tetapi juga tidak saling menegasikan. Perdamaian negatif dan natural tercipta dengan ditandai oleh absennya konflik secara struktural. Dialog terjadi secara natural dan kebanyakan dilakukan ketika ada “kepentingan bersama” atau simbol pemersatu diantara elemen-elemen tersebut.

Hal lain yang ditemukan Tedi adalah bangunan karakteristik dari habitus yang ditandai oleh hadirnya tuan rumah kebudayaan bersama tersebut. Di sini, ada masyarakat kontraktual yang semangatnya egaliter dan transaksional. Lalu ada pasar sebagai identitas budaya, juga ruang ekonomi tentu saja.

“Dan kita bisa melihat banyak kebudayaan hibrid yang dinamis dalam konteks tuan rumah kebudayaan bersama tersebut,” imbuh pengajar di Pesantren Mahasiswa At-Taharruriyah itu dalam siaran pers-nya kepada Radio Idola Semarang.

Selain Tedi, Tubagus P Svarajati, Kritikus Budaya hadir dan memberikan komentar pada peluncuran buku tersebut. Mula-mula, Tubagus memberikan apresiasi terhadap buku tersebut karena disana ada bangunan teoritik yang baru tentang kebudayaan di Semarang.

“Saya lahir dan besar di Pecinan Semarang. Saya akrab dengan persoalan kesenian, berpikir kultural dan sangat panjang sekali. Baru Kang Tedi ini yang mampu memberikan bangunan teoritik tentang apa itu Semarang melalui istilah tuan rumah kebudayaan bersama tersebut,” Tubagus membuka komentarnya.

Semarang Kota Tanpa Identitas

Di banyak pertemuan, kata penulis buku Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota (2012) itu, para pegiat seni dan kebudayaan seringkali menyebut bahwa Semarang itu kota tanpa identitas. “Akhirnya, kita mengatakan, bahwa Identitas Semarang itu, ya, tanpa identitas. Tapi, Mas Tedi mampu memberikan kerangka teoritis tentang tuan rumah kebudayaan bersama yang menjelaskan identitas Semarang,” ujar salah satu pegiat AJI Semarang ini.

Tetapi, Tubagus mengajak kepada publik, bahwa tesis yang dibangun oleh Tedi, jangan kemudian diterima apa adanya. Ia harus dikritik dan diuji. Misalnya soal kontribusi santri. Pada aspek mana kontribusi itu diberikan; bangunan kulturalnya, relasi sosialnya atau hal lain. Ini perlu penelitian panjang.

Tubagus juga memberikan kritik, bahwa Tedi tidak melihat Tionghoa sebagai komunitas yang majemuk. Karena, secara keagamaan, orang-orang Tionghoa ini tidak hanya ada pada satu kelompok agama saja. “Beda halnya ketika menyebut santri. Ini kan berarti orang Jawa, beragama Islam. Sementara orang Tionghoa itu agamanya sangat plural sekali,” ini yang luput dari penelitian Tedi.

Bangunan kebudayaan bersama itu, sesungguhnya pujian, tidak ada identitas, tidak ada kebudayaan, semuanya tidak dalam konteks berkontestasi. Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Tapi, Tubagus lagi-lagi mengajak publik untuk menguji kembali kesimpulan tersebut.

“Apakah benar tidak ada yang dominan? Apakah betul yang satu tidak menegasikan yang lain? Jangan-jangan, kita ini juga ada dalam konflik, meski tidak bersifat struktural, tetapi kecenderungan menegasi itu mungkin ada,” kritik Tubagus. (Heri CS)