Integritas Bangsa Perlu Ditangkarkan Sejak Dini dan Ditopang Ekosistem

Integrity

Semarang, Idola 92.6 FM – Integritas bangsa perlu ditangkarkan sejak dini dan ditopang ekosistem. Individu, masyarakat, dan sistem tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Tak cukup, hal itu perlu didukung dan dilindungi dengan struktur politik dan ekonomi negara.

Demikian dikemukakan Rektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Johanes Eka Priyatma, P.hD dalam program Good to Great, Radio Idola Semarang bertema “Membangun Integritas Sejak Dini, Dari Mana Menangkarkannya?”, Kamis (24/09) lalu. Program dipandu penyiar Nadia Ardiwinata.

Menurut Johanes Eka, menangkarkan dan membangun pribadi berintegritas mesti dimulai dari masing-masing individu sejak dini dan terintegrasi dengan ekosistem. Kualitas individu membentuk kualitas kolektif. Pada saat yang sama, kualitas kolektif mempengaruhi individu.

“Mentalitas dan nilai-nilai sebuah bangsa ditentukan oleh mentalitas serta nilai-nilai dari para individu. Tapi, pada saat yang sama, nilai-nilai dan mentalitas individu juga berkembang dan tumbuh sangat dipengaruhi oleh agregat secara bersama-sama dari masyarakat tersebut,” ujarnya.

Menurut Johanes Eka, sejauh ini, hal-hal seputar kompetensi, sikap, dan integritas secara praktis sudah banyak diupayakan untuk dibangkitkan pada diri anak-anak di rumah dan di sekolah. Tapi perkaranya bukan di situ.

“Perkaranya adalah, hal-hal yang terkait kompetensi, keilmuan, maupun kompetensi kepribadian atau karakter, pada akhirnya hanya akan mewujud bila ia berada di dalam ekosistem atau lingkungan yang sesuai,” ujarnya.

Internalisasi Nilai Perlu Didukung Lingkungan yang Kondusif

Johanes Eka Priyatma
Johanes Eka Priyatma, P.hD, Rektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Menurut Johanes Eka, integritas bukan hanya persoalan adanya ajaran atau nilai-nilai. Tetapi, persoalannya, internalisasi nilai-nilai hanya akan mewujud nyata dan berdampak kepada masyarakat atau lingkungannya kalau dia sendiri atau kompetensi itu tadi berada di lingkungan yang kondusif.

“Tidak mungkin kita itu mempunyai institusi apapun itu, misalnya keagamaan itu akan berdampak pada masyarakat, kalau di sekitarnya praktik-praktik kehidupan sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkannya. Pada akhirnya, individu akan kalah dengan realitas,” tuturnya.

Atas fenomena itu, Johannes Eka meminjam prinsip yang dipakai para arsitek, mungkin hanya dalam dua hingga tiga tahun kita bisa membangun gedung. Tetapi, akhirnya setelah gedung selesai, berpuluh-puluh tahun kemudian, gedung itu lah yang membentuk kita.

”Pendidikan selesai mungkin dalam 10-15 tahun, tetapi berpuluh-puluh tahun kemudian, yang mendidik kita adalah masyarakat,”tuturnya.

Individu, Masyarakat, dan Sistem Tak Bisa Dipisahkan

Eka Priyatma menyebut, masyarakat kita secara praktis kurang menjadi ekosistem untuk menginternalisasi nilai-nilai baik. Namun, itu bukan sepenuhnya kesalahan mereka melainkan menjadi tanggung jawab bersama. Para pemimpin lah yang bertanggung jawab mewujudkan sistem dan pemerintahan yang baik.

“Yang paling harus merasa bertanggung jawab dan terlibat adalah para pengambil keputusan. Mereka harus menjadi pemimpin-pemimpin yang memberi teladan, menginspirasi, dan menjadi bukti tentang nilai-nilai yang dibutuhkan oleh bangsa ini. Tanpa itu, ya, omong kosong!”

Pada dunia pendidikan, Eka menekankan, ada satu prinsip. Tidak mungkin kita bisa menghasilkan lembaga pendidikan yang bagus di tengah lingkungan masyarakat yang tidak bagus. Harus ada interplay, kesadaran saling ketergantungan bahwa kedua belah pihak saling memengaruhi.

“Jadi, perkaranya tidak sesederhana menghasilkan orang yang baik, tapi menciptakan sistem yang baik. Orang yang baik pasti akan kalah dengan sistem yang tidak baik.”

Etika Belum Tumbuh dalam Kehidupan Bernegara

Sementara itu, menurut Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Prof Komaruddin Hidayat, upaya yang mesti ditempuh untuk menangkarkan budaya berintegritas bisa dilakukan melalui dua elemen.

Elemen pertama, dimulai dari panduan hukum yang jelas dan tegas. Kalau hukum dilakukan jelas dan tegas, lama-lama akan menjadi karakter dan menjadi etika. Ia mencontohkan, di Jepang, kalau ada menteri yang merasa gagal menjalankan amanat dan tanggungjawabnya, dia akan mundur. Padahal, di undang-undang tak ada, tapi sudah menjadi etika.

“Nah, kita, jangankan etika, hukum saja belum. Padahal, etika ada dalam masyarakat. Tapi dalam kehidupan bernegara etika itu belum tumbuh,” katanya.

Prof Komaruddin menyebut contoh lain, pada situasi Pandemi seperti saat ini, mestinya banyak pihak yang bertanggung jawab atas kondisi. “Tapi sekarang, simponinya tidak jelas,” kritiknya.

Institusi Pendidikan Berperan melalui Pendidikan Karakter

Prof Komaruddin Hidayat
Prof Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII).

Elemen kedua, Prof Komaruddin menjabarkan, melalui instutusi pendidikan. Institusi pendidikan mesti membentuk dan menanamkan nilai-nilai keindondonesiaan dengan moralitas agung. Tapi pendidikan selama ini yang dikejar justru NEM atau IPK-nya. “Kalau perlu nyontek. Pendidikan karakter rendah sekali,” kata Prof Komaruddin dengan nada prihatin.

Yang tak kalah penting diperhatikan, menurut Prof Komaruddin, pendidikan itu dengan pembiasaan (habits). Ia mencontohkan, di rumah tangga tak ada kurikulum tertulis. Tapi kita dilatih saling menghormati dan tata karma. “Kan, gak ada ganti-ganti kurikulum tertuilis di rumah tangga yang baik,” tuturnya.

Prof Komaruddin menambahkan, masyarakat mesti menjadi ekosistem yang mendadarkan nilai-nilai masyarakatnya. Namun juga perlu didukung dan dilindungi dengan struktur politik dan ekonomi negara.

“Struktur politik ekonomi negara harus melindungi yang bawah. Tapi kalau politik di atas penuh kartel politik, pemilu yang curang, lalu budaya, aset-aset masyarakat, dijarah oleh pemodal dan kekuatan kapitalisme global, dan tak ada yang melindungi dari itu semua, ya, rusak di bawah,” ujarnya.

Dalam konteks kompetensi, menurut Prof Komaruddin, orang-orang di atas (politisi, pemimpin, DPR) mestinya punya akar di dalam masyarakat. Ia idealnya dicintai, dipahami, didukung, dikenal, dan dihormati oleh masyarakat. “Entah itu anggota DPR atau siapapun, bukan karena jabatan tapi pribadinya ke bawah,” katanya.

Ke atas, lanjut Prof Komaruddin, orang-orang itu mesti menunjukkan contoh, akhlak, intelektualitas, dan kemampuannya. Jadi, dia ke atas berprestasi, dan ke bawah dia punya akar. “Sekarang Anda ukur saja—orang-orang aktivis parpol itu punya akar tidak ke masyarakat? Masyarakat aja dibeli kok suaranya!” tegas Prof Komaruddin dengan nada keras. (her)