Ikuti Kami di Google News

“Seorang dokter menyembuhkan, dan alam lah yang menciptakan Kesehatan.”

ARISTOTELES

Semarang, Idola 92.6 FM – Bumi merupakan tempat tinggal bagi manusia, tumbuhan, dan juga hewan, serta mahluk organisme lainnya. Maka, bagaimana cara merawat bumi, agar bumi yang menjadi tempat tinggal makhluk hidup ini tidak semakin rusak?

Dengan merawat bumi serta melestarikannya, kita bisa mencegah bumi dan alam ini dari kerusakan. Air sebagai komponen penting dalam kehidupan yang sangat dibutuhkan bagi semua makhluk hidup terkadang malah menjadi ancaman bagi makhluk hidup. Ketika banjir terjadi maka air menjadi sangat merusak. Bagaimana banjir bisa terjadi? Tentu saja banjir terjadi karena banyak faktor, salah satunya karena kita salah dalam menghargai bumi ini.

Kini, situasi dunia termasuk Indonesia menghadapi situasi darurat iklim (climate emergency) yang ditandai dengan tingginya suhu permukaan bumi, pemanasan global, dan anomali cuaca. Karena itu, Sekjen PBB Antonio Guteres baru-baru ini mendesak para pemimpin dunia agar serius menangani darurat iklim dengan menerapkan secara total sistem perekonomian dan model bisnis yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Negara pun mesti melindungi keselamatan rakyat yang terancam karena bencana ekologis akibat krisis iklim.

Climate Emergency
(Photo: AFP)

Melihat data kebencanaan dari BNPB, dalam 10 tahun terakhir, terjadi peningkatan bencana ekologis amat luar biasa. Data BNPB mencatat, sejak 1 Januari hingga 16 Maret 2021, terjadi 827 bencana yang mengakibatkan ratusan korban jiwa dan kerugian triliunan rupiah.

Seiring banyaknya kejadian bencana ekologis, pemerintah dinilai perlu meletakkan tujuan pembangunan yang tak sekadar mementingkan ekonomi tetapi juga menjamin lingkungan hidup tetap sehat. Sebab, lingkungan sehat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat.

Namun sayangnya, sejauh ini masalah itu tak juga disikapi secara serius oleh pemerintah. Sebaliknya izin usaha pertambangan justru diberikan perpanjanga, terutama untuk tambang ekstraktif seperti batu bara dan minyak bumi.

Selain itu, tak ada peta jalan yang jelas terkait transisi energi ini. Perubahan regulasi melalui Omnibus Law UU Cipta Kerja juga semakin menunjukkan dominasi keberpihakan regulasi pada aspek ekonomi ketimbang lingkungan hidup—yang ujung-ujungnya juga membuka ancaman bencana ekologis.

Atas situasi ini, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) bersama sejumlah aktivis lingkungan mendesak pemerintah agar mendeklarasikan darurat atau krisis iklim. Menurut Walhi, situasi dunia termasuk Indonesia saat ini darurat iklim. Karena itu, perlu deklarasi dari pemimpin negara terkait kondisi ini demi menumbuhkan kesadaran warga dan semua pihak untuk menanggulangi krisis iklim. Aksi serangan iklim global atau global climate strike yang akan dilakukan serempak hampir di seluruh dunia pada 19 Maret 2021, menjadi momentum untuk mendesak pemerintah mendeklarasikan darurat iklim.

Maka, menyikapi darurat iklim global termasuk Indonesia, bagaimana mestinya sikap kita? Perlukah mendorong pemerintah mendeklarasikan darurat atau krisis iklim agar ada tindakan nyata melalui kebijakan progresif sektor energi dan pengelolaan lahan?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Yuyun Harmono (Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)); Hotmauli Sidabalok (Sekretaris Prodi Magister Lingkungan dan Perkotaan Unika Soegijapranata Semarang); dan Drh Slamet (Anggota Komisi IV DPR RI (ruang lingkup Pertanian, Lingkungan Hidup dan Kehutanan; dan Kelautan)). (her/ andi odang)

Dengarkan podcast diskusinya: