Mendorong Akuntabilitas Kepengelolaan JKN-KIS di Tengah Kebijakan Kenaikan Tarif?

BPJS Kesehatan

Semarang, Idola 92.6 FM – Pemerintah menaikkan iuran kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) hingga 100 persen per 1 Januari 2020. Meski ada yang menolak, sebagian peserta tak mempermasalahkannya. Namun, mereka berharap ada perbaikan layanan, khususnya terkait dengan antrean.

Di sisi lain, sejumlah warga mengaku akan menurunkan kelas layanan untuk merespons kenaikan tarif iuran. Selain turun kelas layanan, Kepala Bidang Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengingatkan kenaikan iuran berpotensi meningkatkan jumlah peserta nonaktif, terdaftar jadi peserta tapi tak rutin membayar iuran.

Situasi itu akan terjadi pada kelompok peserta mandiri dari warga miskin dan tak mampu yang tak menjadi penerima bantuan iuran (PBI). Di sisi lain, salah satu problem adalah akuntabilitas pengelolaan BPJS Kesehatan. Anggota Divisi Pelayanan Publik dan Reformasi Birokrasi, Indonesia Corruption Watch (ICW), Dewi Anggraini memaparkan hasil pantauan di 15 daerah pada 2017.

Menurut dia, pantauan ini menunjukkan adanya 49 temuan potensi fraud atau tindakan curang yang dilakukan sedemikian rupa, sehingga menguntungkan diri sendiri, kelompok, atau pihak lain (perorangan, perusahaan atau institusi) pada pelaksanaan JKN oleh BPJS Kesehatan.

Di antaranya yaitu pertama, fraud di tingkat peserta JKN-PBI yang memanipulasi KIS, padahal bukan pemilik kartu BPJS Kesehatan. Kedua, fraud di tingkat Puskesmas berupa penerimaan uang oleh pihak Puskesmas untuk mengeluarkan rujukan pada pasien. Ketiga, fraud di tingkat rumah sakit berupa penggunaan alat kesehatan, obat, dan tindakan medis.

Lantas, di tengah kebijakan kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan, sudahkah Pengelolaannya akuntabel? Layanan seperti apa yang mestinya ditingkatkan mengiringi kenaikan tariff iuran BPJS Kesehatan? Guna mendiskusikan ini, Radio Idola Semarang mewawancara anggota Ombudsman RI Ahmad Alamsyah Saragih. (her)

Berikut wawancaranya: