Memutus Mata Rantai Kekerasan di Lingkungan Pendidikan

Stop Kekerasan di Sekolah
image/istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Kasus kekerasan yang berujung kematian di dunia pendidikan kembali terulang. Terkini, seorang mahasiswa Sekolah Vokasi Universitas Sebelas Maret (UNS). UNS meninggal dunia saat mengikuti Diklatsar yang diadakan Resimen Mahasiswa atau Menwa UNS. Diduga korban mengalami kekerasan sebelum meninggal.

Tragedi ini menambah daftar panjang kasus kekerasan di dunia pendidikan. Sebelumnya, kekerasan panitia pendidikan dasar (diksar) komunitas pencinta alam di Luwu Timur, Sulawesi Selatan juga mengakibatkan meninggalnya seorang mahasiswa. Insiden serupa juga terulang di IPDN dan Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. Dan, September lalu, di Semarang, seorang taruna Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang juga meninggal dunia akibat dianiaya seniornya.

Gilang Endi
Foto Gilang Endi, mahasiswa yang meninggal saat mengikuti Diklatsar Menwa UNS, saat doa bersama 100 Lilin untuk GE, Selasa (26/10/2021) malam. (Photo: KOMPAS)

Atas fenomena ini dan kasus di UNS, publik pun bereaksi. Salah satunya, Ketua MPR Bambang Soesatyo. Ia meminta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mempertimbangkan pembubaran Menwa UNS. Bamsoet mendesak Kemdikbudristek bersama Rektorat UNS mengevaluasi kegiatan kemahasiswaan di UNS, termasuk yang identik dengan kegiatan fisik. Langkah ini diperlukan untuk mencegah insiden serupa tak terulang di kemudian hari.

Doa untuk Gilang Endi
Ratusan mahasiswa UNS menghadiri doa bersama 100 Lilin untuk GE yang digelar Selasa (26/10/2021) malam untuk mendoakan Gilang Endi, mahasiswa UNS yang meninggal saat mengikuti Diklatsar Menwa UNS.(Photo: KOMPAS)

Secara sederhana bisa kita maknai bahwa pendidikan dalam semua tingkatannya, bertujuan untuk mengasah potensi manusia agar semakin berdaya guna; begitu juga pendidikan tinggi atau sekolah vokasi, yang tak lain diharapkan bisa menjadi batu pengasah agar segenap potensi peserta didik bisa teraktualisasi.

Tapi apa jadinya, kalau dalam prosesnya, ada kegiatan yang bukan hanya tidak mengaktualisasi potensi/ tetapi justru menghilangkan nyawa peserta didik?

Bisakah kita terima, ketika sarana peningkatan sumber daya manusia, justru merusak dan mencabik kemanusiaan? Lalu, evaluasi dan perbaikan seperti apa yang mesti kita lakukan?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Prof Nizam (Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kemendikbud-Ristek); Abdul Fikri Faqih (Wakil Ketua Komisi X DPR RI); dan Mia Inayati Rahmania (Direktur Sekolah Alam Ar-Ridho Semarang). (her/ yes/ ao)

Dengarkan podcast diskusinya: