Faktor Tradisi Dan Ekonomi Picu Pernikahan Usia Anak

Perlu Peran Serta Banyak Pihak

Kepala Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, dan Keluarga Berencana Kabupaten Rembang, Dwi Wahyuni, mengatakan, beberapa wilayah yang banyak mengalami praktik itu misalnya di wilayah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu tertinggi di Kecamatan Sarang, disusul Kecamatan Sedan, Kecamatan Sale dan Kecamatan Kragan.

Kajian dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat juga menunjukkan angka yang sama. Survey baseline, yang dilakukan di Di Desa Woro dan Sendangmulyo Kecamatan Kragan, serta Desa Mojosari dan Menoro Kecamatan Sedan, Kabupaten Rembang melalui program “Yes I Do”, yang merupakan program bersama Rutgers, Aliansi Remaja Independen (ARI), dan Plan International Indonesia.

Survey dilakukan oleh Credos Institute. Hasilnya, menunjukkan ada kecenderungan penurunan pernikahan usia anak di Rembang. Meski demikian, secara rata-rata, angka pernikahan anak di dua kecamatan tersebut masih jauh di atas rata-rata angka pernikahan usia anak secara nasional.

“Prevalensi perempuan usia 20 – 24 tahun yang menikah sebelum berusia 18 tahun di wilayah studi mencapai 33.1 persen. Sedangkan secara nasional angkanya 25 persen, dan khusus di Jawa Tengah, prevalensinya hanya 20 persen,” kata Amrullah, Project Manager “Yes I Do” dari Plan Internasional.

Amrullah mengakui penyebab pernikanan anak di Rembang kompleks, meliputi tingkat pendidikan, kondisi ekonomi, dan pola pikir anak yang mudah dipengaruhi kultur masyarakat dan lingkungan.

“Misalnya, bapaknya tidak mementingkan pendidikan anak, ibunya di masa lalu juga pernah menikah sangat muda, implikasinya ke anak. Apalagi, tidak diperkuat dengan kemampuan hidup. Jadi, mata rantai,” katanya.

Untuk mengatasi persoalan itu, kata dia, mata rantai harus diputus secara bersamaan agar optimal dengan peran serta banyak pihak, termasuk mitra setempat dan pemerintah kota setempat. (Heri CS)