Bak Simalakama, Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Dibatalkan, Bagaimana Mengatasi Defisitnya?

BPJS Kesehatan

Semarang, Idola 92.6 FM – Mahkamah Agung (MA) mengabulkan uji materi Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam putusannya, MA membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Padahal, BPJS Kesehatan sudah memungut nominal iuran baru per 1 Januari 2020. Uji materi yang diajukan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCD) ini seperti mewakili suara masyarakat yang menentang kenaikan iuran sejak ide tersebut mengemuka pada Oktober 2019 lalu.

Publik menyambut gembira dan mengapresiasi putusan ini. Bagaimana tidak? Iuran naik tak tanggung-tanggung mencapai dua kali lipat. Untuk kelas III mandiri dipatok Rp42 ribu dari sebelumnya Rp25.500. Kemudian, kelas II mandiri Rp110 ribu dari Rp51 ribu, dan kelas I mandiri Rp160 ribu dari semula Rp80 ribu.

Di sisi lain, putusan MA ini juga memiliki makna dan fakta penting, bahwa tidak selamanya kebijakan pemerintah selalu benar. Apalagi selalu bertujuan memakmurkan rakyat. Negara tak semestinya selalu mengkalkulasi untung-rugi manakala menyentuh hajat penting warganya—dalam hal ini, kesehatan.

Namun, di sisi lain, kita pun menyadari, ini juga akan berat bagi Pemerintah. Ibarat bak Simalakaman. Karena ini juga akan berimbas pada deficit BPJS Kesehatan. Tekornya BPJS bisa jadi akan bertambah.

Ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah menilai, putusan MA membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sudah tepat. Apalagi, saat ini ekonomi Indonesia dibayangi wabah virus corona. Bahkan, sebelum WNI terinfeksi pun ekspor Indonesia dihantui permintaan global. Memang, dia melanjutkan, risiko pembatalan kenaikan iuran akan membuat defisit BPJS Kesehatan melebar. Tetapi, ia berpendapat kenaikan iuran tetap tak banyak membantu memperkecil angka defisit.

Sebagai gantinya, pemerintah bisa mencari solusi lain dengan mengevaluasi masalah teknis, termasuk moral hazard yang kerap terjadi, baik di sisi peserta maupun rumah sakit. Misalnya, mendorong kedisiplinan pembayaran iuran oleh peserta, meminimalisir diagnosis berlebihan yang bertujuan meningkatkan pendapatan rumah sakit. Lantas, bak Simalakama bagi Pemerintah, bagaimana mengatasi defisit BPJS Kesehatan? Mendiskusikan ini, radio Idola Semarang mewawancara ekonom CORE Indonesia, Piter Abdullah. (Heri CS)

Berikut wawancaranya: